BELAJAR parenting dari film Ipar adalah Maut. Tulisan ini disampaikan oleh motivator Parenting dari Komunitas Rumah Pintar Aisha Randy Insyaha sebagai berikut.
Kenapa Rani begitu tega menyakiti kakaknya. Kenapa Rani begitu enjoy dan santai tanpa merasa bersalah dan berdosa melakukan perselingkuhan dengan suami kakaknya sendiri.
Itulah kira-kira beberapa pertanyaan netizen dari film Ipar Adalah Maut. Saya bukan penyuka film dan saya juga belum menonton film ini bahkan mungkin tidak akan menonton karena memang tidak hobi menonton film.
Tapi saya jadi tertarik saat harus menjawab pertanyaan bagaimana upaya seorang istri agar suami tetap setia kepada istrinya agar tidak selingkuh seperti dalam film layangan putus atau ipar adalah maut.
Iseng-iseng saya browsing di youtube dan ketemu podcast Bang Denny Sumargo dengan narasumber Mb Eliza Sifaa, si penulis Novel Ipar Adalah Maut.
Dari podcast itu, ada ilmu parenting yang bisa kita pelajari bersama terutama pada sosok Rani.
Kenapa Rani begitu tega dengan kakaknya, begitu tidak peduli, tidak sayang bahkan dengan ibunya sendiri begitu teganya karena Rani ini memiliki luka batin saat ia masih kecil.
Luka batin itu adalah peristiwa apa saja yang pernah kita alami yang membuat diri kita marah, benci, takut, sedih, apakah kita pernah dimarahi, pernah dilecehkan, pernah di-bully, pernah dipermalukan, pernah ditolak, pernah tidak diperhatikan, tidak dihargai, dibanding-bandingkan, dilecehkan semua otomatis masuk dalam pikiran bawah sadar kita.
Kita akan terus menggendong luka batin itu sepanjang hidup kita.
Belajar Parenting dari Film Ipar Adalah Maut
Lalu, bagaimana kita bisa mengetahui apakah kita masih menyimpan luka batin atau tidak. Orang yang memiliki luka batin itu cirinya kalau ia ingat suatu kejadian yang buruk, ia akan terbawa emosi bisa marah, sedih, kecewa, benci, dendam, takut bahkan bisa sampai menangis.
Tapi kalau sudah mampu melepas sampah emosinya itu meskipun ia ingat atau bercerita tentang kejadian yang sama, ia akan netral seperti cerita biasa tanpa disertai emosi.
Misalnya jika kita ingat dulu dimarahi orang tua lalu kita marah, sedih, takut, kecewa, menangis berarti kita masih menggendong sampah emosi/masih memiliki luka batin tetapi kalau kita cerita dengan santai bahkan dengan tersenyum maka kita sudah mampu menghilangkan luka batin.
Lalu, ada beberapa peristiwa yang menyebabkan seseorang memiliki luka batin, di antaranya diberi ketakutan, ditolak, merasakan penderitaan orang tua, dibanding-bandingkan, diperlakukan tidak adil, di-bully, dikhianati, diabaikan, dimarahi, dibentak, disakiti dan dilecehkan.
Jadi bagi orang tua, berusahalah untuk menghindari semua penyebab yang menjadikan luka batin bagi anak.
Untuk kasus Rani, luka batin yang tersimpan dalam dirinya adalah luka batin karena seringkali dibanding-bandingkan. Si Rani ini sering dibanding-bandingkan dengan kakaknya Nisa.
Ibunya sering memuji kakaknya yang lebih pintar, selalu juara kelas, lebih cantik, mandiri, rajin membantu ibunya.
Orang-orang di sekitar seperti tetangga, guru, keluarga besarnya juga seringkali membanding-bandingkan Rani dengan Nisa.
Rani ini sekolah di sekolah yang sama dengan kakaknya, Nisa, dari SD, SMP, SMA. Oleh gurunya, ia sering dibanding-bandingkan sama kakaknya yang intinya kakaknya dulu pintar sedangkan Rani tidak.
Orang-orang sekitar juga suka membandingkan Rani dan Nisa misalnya, “Ini kakak adik ya, kok cantikan mbaknya ya”.
Pernah Rani berkata sama Nisa, saat orang-orang membandingkan dirinya dengan Nisa.
Rani mengatakan bahwa saat ia dibandingkan sama kakaknya, ia melihat kakaknya Nisa tidak menghibur dirinya yang sedang sedih, kesal, marah malah Kakaknya ini tersenyum seolah-olah bangga dan menikmati pujian itu.
Itu yang menjadi penyebab rasa benci dan dendamnya Rani kepada kakaknya. Inilah yang di kemudian hari menjadi bom waktu.
Antara kakak dan adik bisa saling membenci, saling bermusuhan dan saling menyakiti. Sibling rivalry atau persaingan antarsaudara yang dapat berakibat buruk bagi masa depan keduanya.
Saat anak dibanding-bandingkan, anak akan merasakan ketidakadilan. Ia melihat saudaranya dipuji-puji sedangkan dirinya dianggap lemah, buruk dan salah.
Lalu timbul rasa iri, benci bahkan ada keinginan untuk melukai saudaranya. Dalam pikiran bawah sadarnya, ia ingin sekali berbuat sesuatu yang melukai saudaranya seperti halnya dulu ia terluka karenanya.
Jadi pelajaran bagi kita sebagai orang tua adalah tidak boleh membanding-bandingkan di antara anak-anak kita.
Karena biasanya yang dibandingkan itu adalah kelemahan anak sendiri dengan kelebihan anak orang lain.
Setiap anak punya kelebihan masing-masing. Orang tua seringkali membangga-banggakan anak yang hebat dalam hal prestasi akademis seperti juara kelas, juara lomba, rangking di kelas tapi mengabaikan anak yang punya kelebihan di luar itu.
Jadi jangan sekali-kali membanding-bandingkan anak, membandingkan antara kakak dan adik, atau membandingkan antara anak kita dengan anak orang lain.
Daripada membanding-bandingkan lebih baik memuji setiap kelebihan yang dimiliki masing-masing anak.
Jika kakaknya pandai dalam pelajaran sekolah, pujilah kakaknya tanpa perlu dibandingkan dengan adiknya. Lalu puji juga adiknya karena misalnya memiliki fisik yang kuat dan hebat saat bermain bola.
Orang tua yang suka membandingkan anak sebenarnya orang tua itu berharap anaknya itu seperti sosok yang dibandingkan.
Saat membandingkan adik dengan kakaknya, sebenarnya orang tua ingin adiknya itu seperti kakaknya.
Tujuannya baik namun membandingkan anak itu bisa membuat diri anak merasa tidak disukai, selalu salah, rendah diri, merasa tidak berguna, tidak berdaya, minder dan menyimpan rasa marah, benci dan dendam.
Anak akan memendam kekecewaan yang luar biasa bahkan bisa membenci orang tua dan saudaranya (adik/kakaknya) saat dibandingkan.
Jadi tujuan orang tua agar anak bisa berubah dengan cara membandingkan anak dengan orang lain, tidak tercapai malah bisa menjadi bom waktu di kemudian hari.
Ayah, Bunda daripada kita selalu membandingkan kakak dengan adik atau anak dengan anak orang lain lebih baik kita banyak memuji kelebihan anak.
baca juga: Larangan Berduaan dengan Ipar
Lalu bagaimana caranya:
1. Ucapkan terima kasih, alhamdulillah, jazakallah/jazakillah
2. Sebutkan aktivitas anak yang kita apresiasi,
3. Ungkapkan rasa senang, bahagia, bersyukur, bangga
4. Beri label/sugesti positif kepada anak
5. Beri harapan/keyakinan/doakan
Misalnya seperti ini: “Jazakillah ya Kak sudah mau membantu Bunda memasak, Bunda bangga deh sama kakak. Bunda yakin kelak atas izin Allah, kakak bisa menjadi chef hebat”.
“Hebat sekali anak Ayah, Alhamdulillah sudah selesai hafalan juz 30, membanggakan keluarga, insha Allah kelak menjadi penghafal Al Quran 30 juz”.
“Alhamdulillah nilai matematika nya 85, hebat…, Insha Allah nanti kalau ujian lagi Ayah yakin nilainya akan lebih baik lagi, dapat 100, aamiin”.
“Keren, bersih sekali kamarnya, adik yang membersihkan ya, wah bikin bangga, Bunda jadi tambah sayang sama adik, insha Allah adik dapat pahala membantu orang tua”.
Anak yang sering dipuji perbuatan baiknya maka ia akan terobsesi melakukan kebaikan lebih banyak lagi dan lebih hebat lagi.[ind]