KITALAH yang ditanya, bukan Allah. Ada satu kesadaran yang perlu kita pahami kembali.
Kesadaran itu berkaitan dengan keberadaan kita di dunia ini.
Kenapa? Agar kita tidak terjebak dalam paham materilis-ateistik yang menganggap bahwa hidup ini tidak ada makna sama sekali.
Mereka yang berpaham materialis-ateis menganggap bahwa tak ada makna dalam hidup ini.
Kehidupan dan kematian hanyalah hari-hari yang berganti.
Ia bergulir dan berjalan dalam waktu yang senyap nan sunyi.
Saatnya hidup, ya hidup. Waktunya mati, ya mati. Kematian menyelesaikan semua.
Soal Tuhan? Itu tidak penting, tak ada guna.
Tuhan tidak memberikan manusia tujuan hidup. Tuhan tidak berpengaruh dalam kehidupan. Pandangan mereka disindir Alquran.
وَقَالُوا۟ مَا هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ إِلَّا ٱلدَّهْرُ ۚ وَمَا لَهُم بِذَٰلِكَ مِنْ عِلْمٍ ۖ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.” Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al-Jaatsiyah: 24).
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Dampaknya, gaya hidup hedonisme, serba boleh, dan permisif semakin menjadi.
Orang-orang demikian tidak peduli kepada agama sama sekali.
Agama dianggap tali kekang, penghambat kemajuan, serta penentang kebebasan dan hak asasi.
Perihal kehidupan setelah mati, mereka tentu tidak menyakini. Sekali lagi, Alquran menggambarkan kelakuan mereka dengan terang.
إِنْ هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi.” (QS. Al-Mukminun: 37).
Kita perlu menyadari bahwa, dahulu kita “nothing”.
Bukan sesiapa dan tak pula memiliki apa-apa. Pada mulanya kita hadir di bumi tanpa saham dan modal yang berarti.
Sayangnya, kesadaran ini luput sehingga mereka yang tak menyadari hakikat hidup ini malah banyak yang memusuhi Penciptanya sendiri. Firman-Nya:
أَوَلَمۡ يَرَ ٱلۡإِنسَٰنُ أَنَّا خَلَقۡنَٰهُ مِن نُّطۡفَةٍ فَإِذَا هُوَ خَصِيمٌ مُّبِينٌ
Tidakkah manusia mengetahui bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani? Kemudian tiba-tiba saja dia menjadi musuh yang nyata.” (QS. Yaasin: 77).
Baca juga: Merenenungkan Kembali Hakikat Hijrah
Kitalah yang Ditanya, Bukan Allah (1)
Ingatlah, hidup ini bukan hanya anugerah sesekali, lalu berbuat semau hati.
Bila seperti ini, hidup akan menjadi jahili. Itu budaya kaum yang mengingkari Allah Rabbul ‘izzati. Untuk kecenderungan ini, Allah telah peringatkan.
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فِى ٱلْبِلَٰدِ مَتَٰعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَىٰهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahanam; dan Jahanam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS. Ali Imran: 196-197).
Ingatlah, ketika kita lepas kendali, kemuliaan pun akan pergi. Akhirnya jatuh ke lembah hewani.
Di sana ada kerbau, monyet, babi, bajing, atau tikus karena pandai mencuri dan bersembunyi.
Lagi-lagi Allah Subhanahu wa Ta’ala mewanti-wanti.
وَٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ ٱلْأَنْعَٰمُ وَٱلنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ
Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12).
Sumber: Madrasatuna
[Sdz]