SUATU hari seorang musafir melalui padang sahara nan luas. Suasana begitu terik. Hampir tak ada pohon besar yang ia lalui. Hanya lautan pasir dan bukit-bukit cadas.
Suasana perjalanan seperti itulah yang dilalui sang musafir selama berhari-hari. Sesekali ia menunggangi untanya, sesekali pula berjalan sambil menuntun kendaraannya itu.
Di tubuh untanya itu ia letakkan semua perbekalan. Mulai dari air, makanan, uang, pakaian, dan lainnya. Tanpa untanya itu, sulit ia membayangkan bisa melalui padang yang terik dan gersang itu.
Karena lelah dan tak tahan dengan sengatan terik matahari, ia duduk bersandar di balik bayangan teduh batu besar. Angin sepoi-sepoi yang mengalir di permukaan tanah membuatnya tak lagi tahan dengan kantuk. Ia pun tertidur.
Selama tertidur itu, sang musafir tak menyadari kalau untanya bergerak kesana-kemari mencari pucuk-pucuk tanaman kecil untuk dimakan.
Dan, ia pun terbangun setelah beberapa jam tidur. Ia menoleh ke kiri dan kanan seperti mencari-cari sesuatu. Sontak, ia pun langsung berdiri.
“Untaku, di mana untaku?” ucapnya sambil berjalan kesana-kemari.
Sang musafir terus mencari-cari untanya. Ia berusaha menaiki bukit cadas untuk mencapai ketinggian. Ia berharap, dari ketinggian itu untanya bisa terlihat dari kejauhan.
Namun, yang dicari tak kunjung terlihat. Ia mulai panik. Betapa tidak, karena di untanya itulah nasib hidupnya dipertaruhkan.
Ia mencoba menelusuri arah utara, selatan, barat, dan timur semampu langkah yang bisa ia pijakkan. Tapi, sang unta tak kunjung ditemukan.
Sebegitu lelahnya, ia hanya mampu merebahkan tubuhnya di atas pasir yang mulai teduh karena sore hari. Dan ia pun akhirnya tertidur.
Ketika terbangun, ia kembali menyadari tentang untanya yang hilang. Belum lagi sempat ia berdiri, ia dikejutkan dengan sebuah pemandangan yang paling menakjubkan seumur hidupnya. Unta dan perbekalan yang ia cari-cari, ternyata berada di sampingnya.
Ia pun spontan memeluk untanya itu. Lisannya berucap syukur, “Terima kasih, Duhai Allah. Engkau adalah hambaku dan aku Tuhanmu!”
Ia ucapkan itu tanpa sadar, karena sebegitu senangnya.
**
Tidakkah kita menyadari bahwa Allah subhanahu wata’ala jauh lebih senang dari sang musafir yang menemukan kembali unta dan perbekalannya.
Yaitu ketika Allah Yang Maha Rahman dan Rahim mendapati kembali hamba-Nya yang kembali untuk bertaubat setelah sekian lama ‘pergi’ menjauh. [Mh]