SUAMI itu pemimpin keluarga. Yang utama dari seorang pemimpin adalah keteladanannya.
Menikah buat seorang pria bukan sekadar halalnya hubungan suami istri. Tapi juga menjadi pemimpin keluarga, termasuk memimpin istri.
Ada berbagai tipe seorang pemimpin. Ada pemimpin yang selalu ingin dilayani. Ada juga pemimpin yang justru ingin melayani.
Pemimpin yang ingin dilayani lebih memperhatikan haknya daripada kewajiban. Ia merasa sudah mencari nafkah, maka sepatutnya mendapat pelayanan di rumah.
Mulai dari bangun tidur, saat meninggalkan rumah untuk ke tempat kerja, pulang dari tempat kerja, hingga akan tidur lagi; pelayanan menjadi yang paling diharapkan. Ia akan protes, bahkan mungkin marah, ketika pelayanan itu berkurang, apalagi tidak ada.
Boleh jadi, ia menjadi suami yang tidak tahu cara bikin kopi. Tidak pernah tahu bagaimana masak nasi. Apalagi mencuci baju, nyetrika, cuci piring, dan merawat bayi.
Semua itu urusan istri. Masih lumayan jika ada pelayan yang bantu-bantu istri, tapi bagaimana jika tidak. Semua menjadi full urusan istri.
Mungkin sebagian suami berdalih, “Saya kan sudah capek nyari nafkah!” Ia menganggap kalau kerja di rumah sebagai istri tidak secapek mencari nafkah di luar rumah.
Secara jobdes, coba hitung berapa pekerjaan seorang istri di rumah jika tanpa pelayan. Ia menjadi juru masak, menjadi tukang cuci dan setrika, pembersih dan perawat rumah, perawat taman rumah, penjaga rumah, humas keluarga, dan pengurus merangkap pendidik bayi.
Aneka tugas ini di luar pelayanan khusus untuk suami: membuatkan kopi, menyiapkan baju, menyiapkan makanan, dan pelayanan khusus lainnya.
Tidak heran jika istri memiliki jam kerja yang super lama. Yaitu, dua puluh empat jam sehari. Jika satu hari ada tiga puluh jam, maka jam kerjanya menjadi tiga puluh juga. Bahkan tidurnya juga sebagai kerja: menemani suami atau menidurkan bayi.
Bandingkan dengan jam kerja suami yang mungkin bisa sampai dua belas jam sehari. Itu artinya hanya separuh jam kerja istri.
Suatu saat, ketika keduanya sudah lansia, tipe suami dilayani atau melayani akan terlihat jelas. Suami yang dilayani akan rapuh dan yang melayani tetap bugar.
Ketika istri Allah takdirkan wafat lebih dahulu, dua tipe suami ini lebih terlihat jelas. Suami yang biasa melayani akan stabil, baik fisik maupun psikis. Hal ini karena ia terbiasa membantu istri di rumah.
Ia biasa mencuci baju sendiri, membuat kopi sendiri, pandai memasak, cekatan mengurus rumah, dan piawai menemani anak. Ketika istri tak lagi bersamanya, ia sudah terbiasa dengan tugas-tugas itu.
Sementara suami yang biasa dilayani, ketika Allah takdirkan istrinya wafat lebih dahulu, akan kehilangan segalanya. Bukan sekadar kehilangan sosok istri. Tapi juga para pelayan untuk segala urusan.
Jangan heran jika tipe suami seperti ini akan sangat sengsara jika istrinya tak ada. Ia akan sakit-sakitan, depresi, dan lainnya.
Lha, kan bisa menikah lagi? Masalah memang akan berkurang jika istri barunya juga tipe yang suka melayani. Tapi, bagaimana jika sebaliknya? Masalah akan tambah ruwet.
Lepas dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku yang paling baik untuk keluargaku.”
Cobalah ubah mindset sebagai seorang pemimpin. Pemimpin itu bukan yang dilayani. Pemimpin justru pelayan yang cekatan. [Mh]