ChanelMuslim.com – Miskonsepsi sering terjadi dalam proses belajar. Baik murid bahkan guru banyak yang memiliki pemahaman sempit mengenai belajar.
Belajar yang hanya dibatasi pada sekolah atau kampus membuat proses belajar sendiri menjadi terbatas. Berikut ini kesalahpahaman mengenai belajar yang sering terjadi:
Belajar hanya untuk ujian
Dikutip dari channel YouTube Anantaku1, banyak pelajar bahkan guru menganggap bahwa belajar hanya untuk ujian. Jika tidak ada ujian maka tidak belajar.
Di sekolah dan kampus, ujian dibuat jadwal berkala yang mengukuhkan ujian sebagai ritual penting.
Dari sini maka lahirlah kebiasaan SKS (sistem kebut semalam), upaya habis-habisan mengenai pelajaran pada malam menjelang hari ujian.
Saat ujian usai, pelajaran tak diingat lagi. Padahal dalam kehidupan, tidak ada jadwal ujian. Ujian kehidupan bisa datang sewaktu-waktu, tidak menunggu jadwal ujian tiba.
Baca Juga: Belajar dari Abu Hazim Salamah bin Dinar
5 Miskonsepsi yang Sering Terjadi dalam Proses Belajar
Kendali berada pada guru
Dalam sistem belajar selama ini kinerja pelaku dan manajemen pendidikan ditentukan oleh hasil ujian murid, maka proses belajarpun dikendalikan oleh guru.
Guru yang mempunyai wewenang sepenuhnya dalam menentukan strategi, aktivitas dan asesmen belajarnya. Guru menjadi subyek, pelajar menjadi obyek. Belajar menjadi milik guru.
Karena tidak dilibatkan, murid tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses belajar. Ketika sasaran belajar tidak tercapai, seringkali guru yang lebih cemas dibandingkan pelajarnya.
Padahal belajar harusnya milik pelajar, sehingga sudah sepatutnya guru melibatkan pelajar dalam mengatur proses belajar.
Pelajar mempunyai kebutuhan dan minat belajar yang sama
Guru bukan mengajar murid, tapi mengajar materi pelajaran. Karena itu, guru tidak perlu mengenal apalagi memahami kebutuhan dan minta belajar pelajarnya.
Guru menggunakan satu resep untuk kelas mana pun, siapapun pelajarnya. Resep yang disebut sebagai pengajaran langsung, proses belajar yang berpusat pada guru.
Padahal kenyataannya, murid butuh mengalami diferensial pengalaman belajar sesuai minat, cara belajar dan ketersediaan sumber belajar di sekitarnya.
Belajar itu menghafal dan menggunakan rumus
Orientasi belajar untuk ujian mendorong guru mengajar dengan cara yang memastikan pelajar bisa mengerjakan ujian dengan benar dan cepat. Cara belajar tersebut adalah menghafal dan menggunakan rumus.
Selama lebih dari 12 tahun, pelajar belajar dengan cara tersebut. Tidak heran bila pelajar mempunyai keterampilan yang khas, yaitu keterampilan untuk mengerjakan ujian.
Padahal banyak tantangan kehidupan tidak seragam sebagaimana ujian standar. Pelajar butuh menalar sebelum memahami dan mengatasi tantangan kehidupan.
Penilaian belajar sepenuhnya wewenang guru
Karena tujuan dan cara belajar ditentukan oleh guru maka sewajarnya penilaian belajar ditentukan juga oleh guru. Guru yang tahu benar dan salah. Guru yang layak menentukan nilai dari jawaban murid.
Seringkali kriteria dan cara penilaian hanya diketahui oleh guru. Pelajar diharapkan menerima begitu saja hasil penilaian, meski tidak paham maknanya.
Pelajar tidak tahu perbedaan antara mendapat skor delapan dengan skor sembilan. Pelajar tidak mendapat informasi tentang apa konsep yang perlu diperkuat atau cara belajar yang harus diperbaiki.
Padahal pelajar perlu belajar melakukan penilaian. Dalam kehidupan, pelajar dituntut bisa membedakan benar dan salah atau baik dan buruk.
Nah dengan mengetahui miskonsepsi belajar ini diharapkan murid dan guru bisa semakin memahami bahwa belajar di sekolah dan kampus harus bisa memberi pengaruh pada kehidupan muridnya baik dari segi kompetensi, nalar maupun kemandirian. [Ln]