TAKARAN itu wujud keseimbangan. Jangan lebih dan jangan kurang. Jika tak seimbang, apa pun akan rusak dan hancur.
Ada pepatah bijak dari Sayidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Kira-kira bunyinya, “Jangan berlebihan mencintai seseorang, boleh jadi, ia akan menjadi musuhmu. Dan jangan berlebihan membenci seseorang, boleh jadi, ia akan menjadi kekasihmu.”
Kalimat ini boleh jadi diterjemahkan dalam dunia politik secara pragmatis. Bahwa, tidak ada musuh abadi. Tidak ada teman abadi. Yang ada, kepentingan abadi.
Begitu pun dalam dunia rumah tangga: suami dan istri. Jangan terlalu berlebihan dalam romantisme karena boleh jadi akan ‘menabrak’ hak orang lain yang juga patut dicintai. Misalnya, ayah ibu, kakak adik, dan lainnya.
Begitu pun ketika datang benci antara suami istri. Jangan berlebihan dalam benci, karena akan menzalimi satu sama lain.
“…Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Ayat tentang perceraian ini mengingatkan suami istri untuk bersikap proporsional. Bisa saling memaafkan satu sama lain. Semua orang ada sisi buruknya, tapi banyak juga sisi baiknya.
Boleh jadi, kita pun pernah bersikap tak pas menakar kebijakan Allah subhanahu wata’ala. Ketika mengalami yang tak enak, kita mengeluh. Seolah semua yang Allah berikan melulu tak ada yang nikmat.
Begitu pun terhadap saudara atau sahabat dekat. Jaga takaran sikap kita kepada mereka. Jangan terlalu benci ketika ada sedikit korslet. Lokalisir di masalah utamanya saja, jangan diluaskan kemana-mana.
Jangan lampiaskan marah kepada orang yang pernah dekat dengan kita. Karena boleh jadi, ia akan kembali dekat dengan kita.
Alam raya ini Allah tegakkan dalam prinsip keseimbangan. Karena itu, jagalah keseimbangan di segala hal: takaran untuk diri kita, begitu pun untuk orang lain di sekitar kita.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.” (QS. Ar-Rahman: 9) [Mh]