Menjaga Hati dengan Kebaikan Agar Tidak Rusak
SESUATU yang paling sulit untuk dijaga saat menghadapi segala permasalahan kehidupan adalah hati. Ketika panca indra menerima informasi dan menyampaikannya ke hati, maka hati akan menyerapnya.
Maka seseorang perlu menjaga hatinya dengan menyaring segala informasi yang diterima oleh panca indra agar tidak mudah menjadi benalu di dalam hati
Ibnu Jauzi dalam kitab Dzamul Hawa mengatakan, “Hendaknya seseorang menutup semua jalan yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah-fitnah, karena ketika seseorang sibuk dengan sesuatu darinya, maka ia akan berpaling dari tujuan penciptaannya berupa pengagungan kepada Sang Pencipta dan berpikir tentang kemaslahatan-kemaslahatan.”
Baca Juga: Berhati-hatilah dengan Ego Kita
Menjaga Hati dengan Kebaikan Agar Tidak Rusak
Dalam hadits riwayat Ahmad, Nu’man bin Basyir mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya di dalam diri manusia terdapat segumpal darah, jika dia baik, maka seluruh jasad baik dan jika dia rusak, maka seluruh jasad rusak, ingatlah dia adalah hati.”
Banyak kisah dari salafusshalih yang rela menyingkirkan barang-barang yang mengganggu fokusnya dan menyibukkan hatinya.
Seperti Ibnu Umar yang menjual untanya, saat ditanya “Kenapa kamu tidak mempertahankannya?” Ibnu Umar menjawab,”Sesungguhnya dia penurut. Akan tetapi, dia menghilangkan satu cabang dari hatiku. Maka aku tidak suka menyibukkan hatiku dengan sesuatu apa pun.”
Demikian pula Al-Harits bin Nabhan pernah berkata, “Aku datang dari Mekkah, lalu aku menghadiahkan sebuah teko kepada Malik bin DInar sehingga teko ini di rumah Malik bin Dinar. Suatu hari aku datang dan duduk di majelisnya. Selesai dari majelis, ia berkata kepadaku, “Wahai Harits, kemarilah, ambillah teko itu, sesungguhnya dia telah menyibukkan hatiku.”
Aku (Al-Harits) berkata, “Wahai Abu Yahya, “Sesungguhnya aku membelinya untukmu, agar kamu gunakan untuk berwudhu dan meminum.” Ia berkata, “Wahai Harits, sesungguhnya jika aku memasuki masjid, maka setan datang kepadaku dan berkata, “Wahai Malik, sesungguhnya tekomu dicuri.” Sungguh dia telah menyibukkan hatiku.”
Bahaya yang terbesar saat seseorang tidak menjaga hatinya adalah saat ia mengosongkan hati dari berpikir tentang akhirat, karena ketika itu muncullah kelalaian dalam hatinya.
Saat hati sudah lalai dari akhirat, maka mudah bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak memberikan kebaikan untuk kehidupan akhiratnya.
Ketidakpedulian dengan akhirat menjadikan seseorang mengabaikan syariat yang mengatur aktivitasnya selama dunia serta berpengaruh pada kehidupan akhiratnya.
Hati ibarat sebuah wadah, jika diisi dengan kebenaran maka ia akan menampakkan cahayanya. Saat hati seseorang bersih dari prasangka buruk dan penuh dengan ketaatan maka perilaku yang tampak dari orang tersebut akan mencerminkan sikap-sikap positif.
[Ln]