JANGAN simpan ‘sampah’ dalam diri. Jika memang ada ‘sampah’ yang masuk, segera dibersihkan.
Dalam pergaulan sehari-hari, boleh jadi banyak ‘sampah’ yang masuk dalam diri kita. ‘Sampah-sampah’ itu misalnya rasa kesal terhadap seseorang, benci, takut, bahkan dendam.
Hal ini wajar karena dalam pergaulan tidak semua yang tersentuh selalu yang baik. Ada juga yang tidak nyaman bahkan bisa dibilang kotor.
Bahkan, dalam penyajian video di media sosial, bumbu-bumbu yang mengoyak emosi justru menjadi hal wajib dan menarik. Dan tanpa sadar, hal itu juga menjadi ‘sampah’ yang masuk dalam diri kita.
Jadi, tanpa disengaja, melalui tayangan yang kita tonton, begitu banyak ‘sampah’ yang dibiarkan masuk dan mengendap dalam diri kita.
Kadang, ada ‘sampah-sampah’ yang tidak berhubungan sama sekali dengan diri kita. Misalnya, tayangan tentang konflik dalam rumah tangga selebritis, dan sejenisnya. Anehnya, justru dengan sadar kita terima dengan baik.
Begitu pun dengan konflik politik antar berbagai pihak. Kita menyimak antar pihak yang saling menghina, memfitnah, dan menjatuhkan. Dan kadang kita memposisikan diri kita seolah berada di salah satu pihak itu.
Ada juga ‘sampah’ yang langsung kita cerna dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, kecewa dengan teman, dan kekecewaan itu tidak mereka pahami. Akhirnya terus mengendap dalam diri kita sebagai ‘sampah’ batin.
Mestinya, seorang mukmin sudah membiasakan diri untuk membersihkan diri dari segala ‘sampah’ batin.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)
Jadi, belajarlah untuk rutin membersihkan ‘sampah-sampah’ yang hinggap dalam jiwa kita. Caranya, seperti yang dilakukan seorang sahabat Nabi sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya sebagai calon penghuni surga.
Sebuah kisah menyebutkan tiga kali Nabi menyebut akan datang seorang calon penghuni surga, dan yang datang seseorang yang tampak biasa saja.
Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhu penasaran. Ia minta bermalam di rumah orang itu, ingin tahu amalan apa yang membuat orang itu istimewa.
Ternyata, dalam pengamatan Abdullah, tidak ada yang istimewa. Semua terlihat biasa-biasa saja. Tak ubahnya seperti yang dilakukan umumnya para sahabat Nabi.
Masih penasaran, Abdullah minta waktu lagi untuk bermalam. Tapi tetap saja. Tidak ada amalan yang istimewa.
Akhirnya Abdullah berterus terang. Orang itu pun merasa tak ada amalan dirinya yang istimewa. Kecuali, ia memang membiasakan diri untuk menghilangkan dalam hatinya segala benci, dan hal tidak nyaman lain terhadap orang lain. Dan itu ia biasa lakukan di setiap menjelang tidur.
Jawaban inilah yang dinilai Abdullah sebagai amalan yang istimewa. Karena tidak semua orang bisa apalagi biasa membebaskan segala rasa tidak nyaman terhadap orang lain di setiap menjelang tidurnya.
Jadi, jangan biarkan ‘sampah’ sedikit pun hinggap, apalagi bermalam dalam hati kita. Lepaskanlah.
Seperti halnya hape atau komputer, akan selalu sehat jika sering-sering di’bersihkan’ sampah-sampahnya. Meskipun mungkin terasa menarik emosi kita. [Mh]