PROVOKASI dan perbedaan suatu hal yang berbeda. Tapi, perbedaan bisa menjadi ‘kendaraan’ untuk melakukan provokasi.
Beberapa hari terakhir ini umat Islam dihadapkan dengan berbagai perbedaan besar. Ada kasus Ma’had Al-Zaytun dan perbedaan tanggal hari raya Idul Adha.
Untuk kasus Al-Zaytun sebenarnya bukan hal baru. Sudah bertahun-tahun kasus ini muncul dan tenggelam.
Kasus yang mengusik umat Islam ini muncul lagi melalui media sosial pasca Idul Firtri lalu. Reaksinya pun di luar dugaan. Entah siapa yang memfasilitasi, begitu banyak orang di Jawa Barat yang mendatangi pesantren di Indramayu ini.
Kalau persoalan ini didudukkan pada porsinya, tentu tidak perlu ada reaksi besar dari banyak orang. Cukup pejabat-pejabat terkait seperti MUI, aparat hukum, dan pemerintah setempat yang ‘turun tangan’.
Yang penting dari kasus ini adalah ketegasan secara hukum, bukan lagi-lagi ‘diambangkan’ untuk kemudian timbul dan tenggelam.
Begitu pun dengan kasus klasik tentang perbedaan tanggal hari raya Idul Adha. Rasanya, umat Islam sudah sangat cerdas menyikapi perbedaan ini.
Sekali lagi, perbedaan dalam ruang lingkup umat Islam adalah hal yang niscaya. Dan umat Islam dari hari ke hari kian cerdas menyikapi hal ini.
Yang menjadi masalah mereka yang begitu getol mengangkat perbedaan-perbedaan ini menjadi sensasi dan provokasi. Umat Islam juga sudah paham betul siapa-siapa saja yang ‘langganan’ bermain di dunia ini, baik itu media massanya, jaringannya, atau tokoh-tokohnya.
Kalau sebatas diskursus itu hal yang wajar saja. Bahkan bisa dibilang perlu untuk kian mencerdaskan umat. Tapi kalau sudah provokasi, rasanya penyikapannya harus lain.
Dan sekali lagi, hal itu bukan wewenang massa atau adu kuat massa. Melainkan pemerintah dan aparat penegak hukum. [Mh]