MANTAN Wakil Menteri Hukum dan Ham di era SBY ‘membocorkan’ bahwa Mahkamah Kontitusi akan memutuskan sistem pemilu menjadi proporsional tertutup.
Pertanyaannya apa dampak dari beralihnya sistem pemilu proporsional terbuka saat ini menjadi proporsional tertutup?
Sistem proporsional terbuka adalah pemilihan calon wakil rakyat yang dilakukan secara langsung. Yaitu, rakyat langsung memilih calon wakilnya di pencoblosan pemilu.
Jadi, dalam surat suara, selain ada kolom-kolom tentang partai, ada juga di dalam kolom itu nama-nama calon legislatif. Nama-nama ini tersusun tanpa didahului nomor, melainkan abjadiyah nama.
Calon mana yang akan mendapat suara terbanyak, dialah yang akan diputuskan partai sebagai anggota legislatif.
Sistem inilah yang sudah diterapkan sejak pemilu tahun 2004 hingga tahun 2019 lalu. Dan sistem itu pula yang di pemilu 2024 mendatang prosesnya sudah mulai berjalan.
Lalu, apa itu proporsional tertutup? Dalam sistem ini, rakyat tidak memilih calon anggota legislatif. Melainkan, hanya mencoblos partai.
Nantinya, partailah yang akan menentukan calon legislatif mana yang akan menjadi anggota legislatif.
Sistem ini sudah diterapkan pada masa Orde Lama dan Orde Baru dan pada pemilu tahun 1999 di era Reformasi. Tapi sistem ini sudah diganti menjadi sistem proporsional terbuka sejak pemilu tahun 2004.
Apa dampaknya jika kembali ke proporsional tertutup? Jika sistem ini diberlakukan, maka rakyat tidak lagi bisa memilih calon wakilnya di parlemen. Semua penentuan siapa wakil rakyat mutlak menjadi hak partai.
Biasanya, sistem proporsional tertutup ini menguntungkan mereka yang menjadi elite partai. Karena merekalah yang nantinya memiliki kewenangan penuh sebagai penentu.
Boleh jadi, dalam sistem ini, para caleg yang dipilih partai adalah mereka yang punya kedekatan dengan para elitenya. Bisa karena ada hubungan keluarga atau ada kepentingan lain, misalnya siapa yang bisa membayar lebih mahal.
Sistem ini juga menguntungkan para caleg yang berasal dari latar belakang minoritas. Misalnya, etnis tertentu atau agama tertentu.
Jadi, demi demokratisasi yang sudah berjalan selama era reformasi ini, rasanya aneh jika sistem pemilu dikembalikan ke proporsional tertutup.
Tidak heran jika delapan fraksi di DPR secara tegas menolak jika pemilu akan datang dikembalikan ke sistem proporsional tertutup.
Lalu, benarkah MK akan benar-benar ‘mengembalikan’ sistem pemilu ke sistem yang pernah berlaku di masa Orla dan Orba itu? Rasanya, waktu juga yang akan menjawabnya. [Mh]