ADRIANO Rusfi menulis tentang Kodrat LGBT yang tak bisa menjadi benteng perlindungan atas dosa yang ingin diabadikan.
Pada 23 Mei 2023, ia menulis, pelaku dan pendukung LG8T masih saja bersikeras dan bersitegang bahwa L6BT adalah kodrati.
Dan untuk itu, mereka rela berkelana dari satu retorika ke retorika lainnya, dari satu argumentasi ke argumentasi lainnya.
Mulai dari alasan genetik, hormonal, neurologis, historis, reinterpretasi teks kitab suci, hingga fitnah terhadap para hewan bahwa sejumlah spesies mereka adalah homoseks.
Tampaknya, ada dua hal yang sangat ingin mereka dambakan dengan mendesakkan keyakinan ini: pertama, agar keberadaan mereka diterima; dan, kedua, agar mereka tak “dipaksa” untuk berubah.
Tapi, saya juga punya tiga pertanyaan tentang apa-apa yang ingin mereka perjuangkan:
Pertama, apakah kodrati itu, dan apakah L68T itu kodrati?
Kedua, apakah “kodrat” itu tak dapat diatasi?
Ketiga, apakah segala yang kodrati itu harus selalu diperturutkan?
Baca Juga: Menodai Keindahan Pelangi
Kodrat Tak Bisa Menjadi Benteng Perlindungan atas Dosa yang Ingin Diabadikan
Tentang makna kodrati, saya merasakan ada pemerkosaan makna di sini. Ya, mana ada peristiwa dalam hidup ini yang tak berbasis kodrati.
Karena sesuatu disebut kodrati ketika ia bersifat deterministik, bawaan dan dari “sono”nya.
Hujan turun dari langit adalah kodrati. Api bersifat panas dan membakar adalah kodrati. Burung bisa terbang adalah kodrati. Dan setiap naluri manusia adalah kodrati.
Jadi, kodratikah LaGiBeTe? Tentu LG8T adalah kodrati sebagaimana penolakan terhadap L6BT adalah kodrati pula.
Jika ini kodrati yang dimaksud, maka telah terjadi situasi zero sum game, status quo dan loose – loose solution.
Maka biarkanlah kaum L68T berekspresi, dan biarkan pulalah para penentang dan menghujat mendiskriminasi, karena masih-masing punya argumentasi kodrati.
Alhasil, anarkisme yang akan terjadi juga bersifat kodrati.
Masalahnya, kasadaran kodrati tidak seharusnya membuat manusia menjadi fatalistik dan deterministik tanpa ikhtiar.
Ketika manusia menyadari kodratnya sebagai makhluk yang tak bisa terbang, bukankah ia bisa berikhtiar membuat gantole hingga pesawat udara agar ia juga dapat selincah elang menikmati langit dan menatap bumi?
Ketika manusia menyadari kodratnya bahwa ia tak bisa berlari secepat kuda, bukankah ia dapat berupaya untuk memproduksi sepeda hingga mobil balap?
Sungguh, sains lahir karena manusia ingin MENGATASI kodratnya, bukan fatal menyerah. Manusia memang mustahil membuang kodrat, tapi mampu mengatasinya.
Itulah kodrat manusia, karena mereka bukan binatang. Maka ketika seorang ibu mendapati bayinya buta bawaan sejak lahir, maka ia tak menyerah kalah pada kodrat.
Karena atas kodratnya pula, sebagai seorang ibu, ia akan berjuang sepenuh jiwa untuk membuat sang buah hati dapat melihat.
Ia akan bantah fakta medik bahwa obatnya tak ada, dan ia akan lawan segala prognosis bahwa ini tak mungkin sembuh.
Maka, tak akan sepasang ayahbunda mengatakan, “Ini kodrat” pada anaknya yang terlahir autis. Mereka akan berjuang agar ananda “normal”.
Ketika ananda terlahir dengan kaki yang lemah, akan mereka pasangkan kaki palsu, penyangga kaki, atau tongkat sekalipun.
Itulah sebabnya kenapa kodrat tak bisa menjadi benteng perlindungan atas dosa yang ingin diabadikan. Karena seorang pembunuhpun akan mengatakan bahwa naluri membunuh adalah kodrati.
Lalu seorang hiperseks pun akan mengumbar syahwat di setiap jengkal tanah dengan alasan bahwa ini adalah bawaan genetis dari orangtuanya yang juga hiperseks. Kodrat tak selalu harus diperturutkan.
Boleh jadi orang-orang yang sering berkata, ”ini kodrat”, adalah orang-orang yang telah berada pada titik putus asa, ketika upayanya untuk menyingkirkan hasrat cabul tak kunjung berbuah signifikan.
Boleh jadi kalimat “ini kodrat”, adalah sebentuk defense mechanism atas rasa berdosa yang terus-menerus menghantui.
Boleh jadi retorika “ini kodrat” adalah bentuk keengganan dan kekeraskepalaan untuk meninggalkan angkara murka yang telanjur dinikmati dan dicandui.
Alkisah, itu pulalah yang terjadi pada orang-orang yang hatinya disergap cinta pertama. Tiba-tiba ia disergap jatuh cinta teramat dalam tanpa ia kehendaki.
Celakanya, semakin ia buang justru rasa itu semakin tertanam dalam. Semakin ia ingkari, justru ia semakin terjebak ke dalam pesonanya.
Lalu, dalam putus asanya ia berkata : “Tak pelak lagi, ini pasti kodrat dari Yang Kuasa. Ya, karena ini bukan kehendakku, dan semakin kubuang ia semakin menjerat”.
Sungguh, para pecandu L*BT hanyalah para plagiat dari ketidakberdayaan semacam ini.
Baca Juga: Uganda Berlakukan Hukuman Mati Bagi Pelaku LGBT
Jadi, kodrat bukanlah mantra tertinggi dalam menjalani kehidupan ini. Karena yang lebih tinggi dari kodrat adalah misi dan kemanfaatan bagi kehidupan itu sendiri.
Dan untuk mengemban misi dan kemanfaatan hidup itu, kita ditantang untuk mengatasi kodrat itu sendiri.
Seseorang yang potentially berbakat menghipnotis orang lain, jika itu berdampak negatif bagi misi dan kemanfaatan hidup, maka ia harus mampu mengatasinya, bukan memperturutkannya.
Kodrat itu bersifat potensial, dan tak selalu harus aktual.
Maka, sekali lagi, mari kita hindari diri kita untuk melacurkan sebuah istilah.
LG*T, pedofilia, bestiality, incest, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya hanyalah kodrati pada tataran kecenderungan negatif manusia, tapi bukan pada tataran aktual.
Manusia hadir ke dunia untuk berjuang melawan sisi hitam dari dirinya sendiri, bukan memperturutkannya.
Sehingga, walau sperma yang bersifat basa secara kodrati tidaklah cocok dengan lingkungan vagina yang bersifat asam, namun ia harus berjuang mengatasinya agar mampu membuahi sel telur.
Karena membuahi sel telur adalah misi eksistensialnya. Dan itu adalah KODRATI!!!
Marilah kita bertanya pada Yang Menciptakan Kodrat. Ia ciptakan manusia berkodrat membenci peperangan. Namun ia perintahkan manusia untuk berperang:
“Diwajibkan atas kalian berperang. Padahal perang itu sesuatu yang (secara kodrati) kalian benci. Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kalian,
Dan boleh jadi kalian mencintai sesuatu, padahal ia buruk bagi kalian. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahuinya.” (QS Al-Baqarah: 216).[ind]