oleh: Isti Prihandini (Jamaah Haji Indonesia 2017)
Chanelmuslim.com- Bandingkan angka Rp25 juta sebagai setoran awal dan Rp28 juta sebagai total Ongkos Naik Haji (ONH) dengan harga rumah atau mobil. Mana yang lebih selangit? Namun, mengapa masyarakat Indonesia merasa butuh biaya selangit, berlipat-lipat dari ONH untuk pergi haji?
“Mbak, harus punya uang seratus juta lho untuk naik haji”, kisah seorang nenek 65 tahun, jamaah haji 2017 asal Depok.
“Lho, untuk apa saja Nek?”, tanya saya penuh selidik.
Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) tahun 2017 adalah Rp.34.306.780, 00. Dari biaya ini, Pemerintah mengembalikan 1500 Riyal (sekitar Rp. 5. 452.000,00) untuk ‘living cost’ (biaya hidup selama di tanah suci). Pemerintah juga mengembalikan biaya pembuatan pasport sebesar Rp350.000,00. Jadi total biaya yang diserahkan ke Pemerintah adalah Rp28.504.780,00.
Bandingkan angka Rp25 juta sebagai setoran awal dan Rp28 juta sebagai total ONH itu dengan harga rumah atau mobil. Mana yang lebih selangit?
Dahulu, vaksin meningitis mahal sekali dan bayar. Sekarang, gratis! Vaksin Influenza memang tidak gratis, namun murah dan boleh tidak vaksin. Biaya pemeriksaan darah atau urine di Puskesmas pun “bersahabat” dengan kantong.
Namun, pada umumnya masyarakat Indonesia merasa butuh biaya selangit, berlipat-lipat dari ONH. Mengapa?
Alasannya adalah kita terbiasa terperangkap dengan tradisi yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan sah tidaknya haji. Misalnya, biaya walimatus safar, persiapan baju ihram serba baru, biaya transportasi pengantar, oleh-oleh, wisata tempat bersejarah, dan lain-lain.
Ada sepasang jamaah haji di Jawa Tengah mengundang 400 tamu untuk walimatus safar. Hitung, andaikan seorang tamu dijamu nasi box seharga Rp25.000,00. Sepuluh juta rupiah untuk nasi box saja. Belum biaya sewa tenda dan tetek bengek lain. Memang tidak ada salahnya mengadakan walimatus safar, tapi tidak wajib.
“Lho, haji kok diem-diem, nggak ada ape-apean?” Mungkin itu komentar tetangga yang heran jika ada yang berangkat haji tanpa walimatus safar. Ingat, walimatus safar tidak mempengaruhi sah tidak sahnya haji. Selesai.
Soal pengantar haji, misalnya. Haji diidentikkan dengan pengantar yang bejibun. Di kampung saya, yang berangkat dua orang, yang mengantar 18 angkutan kota!
“Wah, nelongso kalau ndak diantar banyak orang”, begitu katanya. Lho, memangnya haji tidak sah kalau berangkat tak diantar? Cobalah hitung berapa sewa transportasi dan “akomodasi” pengantar.
Tradisi membagi oleh-oleh haji juga memakan biaya yang tak kalah besar. Di Madinah dan Mekah berlimpah ruah aneka macam oleh-oleh, sangat menggoda. Umumnya jamaah haji membeli begitu banyak oleh-oleh hingga melebihi batas beban koper yang hanya 32 kilo.Biasanya, jamaah akan memakai jasa pengiriman, harganya 10 Riyal per kilo. Minimal pengiriman adalah 20 kg. Total biaya adalah 200 Riyal atau lebih dari delapan ratus ribu rupiah. Coba hitung berapa besar biaya untuk membeli oleh-oleh seberat 20 kg. Bisa lebih dari sepuluh juta rupiah.
Itu jika bentuk oleh-olehnya berupa sajadah, gamis, kurma, kacang, atau coklat. Bagi yang senang keliling Zam-Zam Tower, beda lagi ceritanya. Bermacam oleh-oleh yang kecil dan ringan benar-benar menggoda. Tak perlu pusing bagaimana membawanya. Arloji bermerk, perhiasan emas, parfum, handphone, dan lain sebagainya. Sebotol kecil parfum bisa mencapai jutaan rupiah.
Nah, itu baru oleh-oleh yang asli dibeli di Tanah Suci. Ingat, masih ada satu “tanah” lagi, yaitu Tanah Abang. Berangkat haji saja belum, tapi banyak kawan yang sudah mencicil membeli oleh-oleh haji di Tanah Abang. Kawan saya sudah menyiapkan seratus pak sajadah dan lain-lainnya sebelum berangkat. Sesampai di Tanah Suci, masih tetap belanja untuk menambah oleh-oleh. Wow!
Pembengkakan biaya untuk “tradisi” walimatus safar, ritual mengantar-menjemput, sampai oleh-oleh itulah yang umumnya menjadi “teror” masyarakat muslim yang berniat mendaftar haji.
Akibatnya, mereka menunggu dan menunggu sampai punya “pohon uang”, baru kemudian memanennya untuk mendaftar haji.
Tak heran, jika tahun 2017 sejumlah 63 persen jamaah haji Indonesia adalah jama’ah RISTI (Resiko tinggi; usia di atas 60 tahun dan atau punya penyakit berat). Hanya 37 persen jamaah haji “pemuda” sehat!
Haji memang ibadah yang menuntut istitha’ah (mampu). Namun bukan hanya mampu finansial, tapi juga mampu secara fisik dan psikis. Banyak sekali hal yang berpeluang menimbulkan stres selama persiapan dan pelaksanaan haji. Kemampuan secara fisik dan psikis lebih mungkin tercapai di usia muda.
Maka sudah saatnya ubah ‘mindset’ tentang haji. Lepaskan diri dari “tradisi-tradisi” yang tidak ada hubungannya dengan sah tidak sahnya haji. Dan ayo, menjadi ‘Mas Haji dan Mbak Hajah’ berani berhaji selagi muda dan fit tanpa biaya selangit.
(ind)