DUNIA itu yang kita tinggal saat ini, dan akhirat yang akan kita tinggali esok. Sayangnya, tak sedikit yang lupa bahwa ada hari esok selain hari ini.
Salah satu perbedaan kita dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tentang apa yang terlihat hari ini dan esok.
Kalau para sahabat Rasul radhiyallahu ‘anhum, hari esoknya begitu terlihat. Sementara kita, hari ininya yang lebih jelas, sementara esoknya samar bahkan terlupakan.
Para sahabat hidup bersama Rasulullah, sebuah rambu-rambu kehidupan yang jelas. Mereka cukup meneladani Rasulullah apa adanya.
Hari ini dan esok menurut Rasulullah, begitu pula yang dipegang para sahabat. Tidak heran jika di masa mereka, hari esoknya jauh lebih jelas daripada hari ininya.
Sementara di masa kita, sosok yang diteladani menjadi bias, tergantung sejauh mana kita memahami sosok Rasulullah yang sudah begitu lama tidak bersama kita.
Bias-bias keteladanan itu menjadikan takaran dunia dan akhirat menjadi sangat relatif. Kebanyakan orang pun lebih nyambung dengan apa yang di depan matanya daripada apa yang diimaninya.
Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala ini, “Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi…” (QS. 28: 77)
Ayat ini diterima pertama kali oleh generasi para sahabat. Allah mempersilahkan mereka mengejar bahagia untuk akhirat. Tapi, jangan lupakan bahagia di dunia.
Kalau pemahaman itu diterapkan di generasi kita saat ini, rasanya objektivitasnya akan terbalik. Karena yang sedang dikejar generasi saat ini bertolak belakang dengan apa yang saat itu dikejar generasi sahabat.
Para sahabat begitu gencar mengejar bahagia akhirat, sehingga Allah subhanahu wata’ala mengingatkan untuk juga mengejar bahagia dunia.
Sementara kita sebaliknya: sedang begitu gencar mengejar bahagia dunia. Sehingga tanpa sadar, pemahaman tentang ayat itu menjadi terbalik. Yaitu, jangan lupakan bahagiamu di akhirat.
Artinya, ada kemungkinan salah penerapan di ayat tersebut. Karena yang diingat hanya kalimat keduanya, yaitu jangan lupakan bahagiamu di dunia.
Sudah selama ini generasi kita begitu sibuk dengan urusan dunia, seolah-olah ingin mengamalkan ayat tersebut, dengan tidak boleh melupakan bahagia di dunia. Lha, jadi akhiratnya mana?
Coba cermati dunia para sahabat saat itu. Siangnya mereka berjihad dengan pengorbanan harta dan nyawa. Dan malamnya, mereka qiyamul lail dan zikir hingga sedikit istirahat.
Jadi, sangat wajar jika Allah subhanahu wata’ala mengingatkan mereka untuk juga memperhatikan bahagia di dunia, seperti bercengkrama dengan keluarga, dan lainnya.
Sementara kita, siangnya sibuk nyari duit, dan malamnya menikmati istirahat yang panjang. Terus kita pun seolah ingin mengamalkan ayat tersebut untuk tidak melupakan bahagia di dunia.
Imam Ghzali rahimahullah menafsirkan ayat tersebut dengan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu, dunia itu ladangnya akhirat.
Artinya, ‘jangan lupakan bahagiamu di dunia’ menurutnya untuk mengoptimalkan bahagia dunia untuk tabungan akhirat.
Kalau ada rezeki, prioritaskan untuk tabungan akhirat. Kalau ada waktu luang, optimalkan untuk meraih pahala ibadah. Jangan luputkan kesempatan sekecil apa pun kecuali untuk zikrullah.
Jadikan setiap detik durasi hidup kita saat ini untuk kemaslahatan akhirat. Karena dunia bukan tempat kita panen, melainkan menanam. Sementara panennya di akhirat. [Mh]