KENAPA banyak orang mempersepsikan bahwa disiplin itu identik dengan kekerasan? Iya karena persepsi itu sudah tersimpan dalam pikiran bawah sadar kita.
Motivator keluarga dari Rumah Pintar Aisha Randy Ariyanto Wibowo mengatakan bahwa persepsi tersebut kita simpan karena pengalaman kita dulu sewaktu kecil.
Banyak dari kita dulu sewaktu kecil mendapatkan perilaku kekerasan dari orang tua kita baik kekerasan secara psikis.
Baca Juga: 4 Tipe Pola Asuh Orang Tua yang Menentukan Karakter Anak
Kenapa Disiplin Identik dengan Kekerasan
Perilaku kekerasan seperti bentakan, sindiran, dimarahi, dibandingkan, dicela/dicemooh, direndahkan atau kekerasan fisik dengan alasan agar kita disiplin.
Karena pengalaman kita itu dulu, lalu kita menyimpulkan bahwa disiplin itu pasti dengan kekerasan. Tanpa kita sadari, kita pun menerapkan model kekerasan dalam mendidik anak kita.
Lalu, nanti anak-anak kita juga akan menerapkan model kekerasan kepada cucu-cucu kita.
Karena parenting yang anak kita lakukan itu adalah warisan dari diri kita sebagai orang tua dan kita mewarisi itu semua dari orang tua kita dulu.
Ayah Bunda, kita perlu membedakan antara disiplin dengan kekerasan. Disiplin tidak sama dengan kekerasan.
Disiplin itu menguatkan mental yang awalnya malas menjadi rajin, yang awalnya tidak mandiri menjadi mandiri, yang awalnya terbiasa dengan perilaku yang buruk menjadi terbiasa dengan perilaku yang baik.
Sedangkan kekerasan itu lebih mengarah ke menyakiti, bisa menyakiti secara fisik atau menyakiti secara psikis.
Disiplin itu intinya adalah bagaimana anak mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang baik.
Baca Juga: Inspirasi Komunitas Rumah Pintar Aisha Bangun Rasa Empati Sosial di Masyarakat
Lalu bagaimana mendisiplinkan anak tanpa kekerasan?
Pertama adalah keteladanan
Misalnya saat sholat. Jika kita ingin anak kita sholat tepat waktu maka orang tua harus memberi teladan sholat tepat waktu.
Saat mengajak anak sholat, Bunda harus siap dengan memakai mukena, lalu datangi anak “Nak, sholat yuk, Bunda sudah siap”.
Atau Ayah sudah siap dengan sarung dan kopyah lalu mengajak anak laki-lakinya pergi ke masjid. Anak akan melihat keledanan orang tuanya.
Anak akan bergegas menyiapkan diri untuk sholat saat melihat keteladanan orang tuanya.
Beda ketika bunda menyuruh anak sholat tapi bunda malah asyik menonton tv atau asyik dengan gadget-nya atau ayah menyuruh anaknya sholat di masjid sedangkan ayahnya sendiri masih asyik makan.
Wajar dong kalau anak tidak segera sholat, wajar dong kalau anak suka menunda-nunda sholat. Lah Ayah Bundanya yang memberi teladan untuk menunda sholat.
Lalu, karena anaknya juga belum bergegas sholat, ayah bundanya marah-marah. Orang tua menganggap anak membangkang perintah orang tua.
Jadi untuk mendisiplinkan anak itu butuh keteladanan dari kedua orang tuanya.
Kedua, buatlah kesepakatan, reward dan hukuman atau konsekuensi jika anak melanggar.
Orang tua dan anak bersama-sama membuat kesepakatan bersama. Jangan membuat kesepakatan sepihak karena kesepakatan sepihak akan dilakukan anak dengan setengah hati.
Namun, jika anak juga menyepakati, ia akan lebih ringan menjalankan kesepakatan.
Misalnya dalam kesepakatan itu, anak memiliki kewajiban belajar, hafalan, membersihkan kamar tidur, menyiram tanaman, berapa lama bermain gadget, ikut les, aktivitas ibadah seperti sholat, mengaji dll.
Untuk memberikan reward dan punishment, ayah bunda perlu membuat daftar (ceklist) aktivitas harian. Setiap anak melakukan kewajibannya maka dicentang.
Lalu beri reward, misalnya 1 centang dengan 100 rupiah atau 500 rupiah, disesuaikan dengan kondisi ekonomi orang tua.
Setiap seminggu sekali atau sebulan sekali orang tua harus memberikan reward kepada anak.
Selain reward, orang tua juga harus memberikan hukuman atau konsekuensi jika anak tidak melakukan.
Misalnya jika anak tidak belajar, uangnya dikurangi 1000, atau anak melanggar batas waktu bermain gadget, anak harus mendapatkan hukuman.
Jika memang anak melanggar aturan, orang tua harus menerapkan hukumannya. Hukumannya usahakan bukan hukuman fisik.
Selanjutnya, orang tua perlu melakukan evaluasi.
Orang tua perlu melakukan evaluasi apakah isi dari kesepakatan itu perlu ditambah dengan aktivitas yang baru atau ada aktivitas yang harus dihilangkan karena anak sudah mulai terbiasa.
Jadi untuk membuat anak lebih disiplin, pertama: keteladanan, kedua: kesepakatan, ketiga: reward dan punishment dan keempat adalah evaluasi. Semoga bermanfaat.[ind]