WARISAN yang abadi adalah buah dari keikhlasan. Keikhlasan menjadi kunci dalam berkarya. Tak hanya dalam penulisan kitab, namun dalam hal apa saja, sebagai legasi yang ditinggalkan.
Penulis buku Journey to the Light Uttiek M. Panji Astuti menulis tentang para ilmuwan Islam yang meninggalkan legasi atau warisan abadi lewat kitab yang ditulisnya.
“Sungguh Ibnu Abi Dza’bi di kota Madinah telah menyusun kitab Muwattha’ yang lebih besar dari kitab Muwattha’-nya Imam Malik, hingga ditanyakan kepadanya, ‘Apa faedah dalam karyamu (Muwattha’) ini?’ Imam Malik menjawab, ‘Apa (kitab) yang karena Allah akan abadi’.”
Kalimat sarat hikmah itu ditulis Imam Suyuthi dalam kitabnya “Tadzribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi”.
Syahdan pada masa itu banyak ulama yang menulis kitab Muawattha’ sebagaimana yang ditulis Imam Malik.
Bahkan beberapa di antaranya lebih lengkap dan detail, termasuk yang ditulis Ibnu Abi Dza’bi dari Madinah, sehingga muncullah pertanyaan, “Apa istimewanya kitab Muwattha’ karya Imam Malik dibanding yang lainya?”
Jawabannya, Imam Malik sungguh bisa menjadi pelajaran, “Kitab yang (ditulis) karena Allah akan abadi.” Dan ini terbukti, kitab Muwattha’ karyanya masih bisa kita pelajari hingga kini.
“Keikhlasan menjadi kunci dalam berkarya. Tak hanya dalam penulisan kitab, namun dalam hal apa saja, sebagai legasi yang ditinggalkan,” tulis Uttiek dalam akun IG @uttiek.herlambang (17/10/22).
Begitu banyak karya fenomenal di dunia yang konon sangat luar biasa, namun sekarang yang tersisa hanya tinggal ceritanya. Lurusnya niat menentukan hasil akhirnya.
Hari ini, begitu banyak rencana-rencana muluk yang seakan memberi secercah harapan, tapi pada kenyataannya tak bisa direalisasikan.
Atau kalaupun sempat terwujud, umurnya tak panjang. Belum banyak manfaat yang didapat, sudah tak ada lagi bekasnya.
Baca Juga: Pengetahuan adalah Warisan yang Diajarkan
Warisan yang Abadi
View this post on Instagram
Kemarin (16/10) warga Jakarta menyaksikan pemandangan yang tidak biasa. Ribuan orang melepas pemimpin yang tugasnya telah paripurna.
Momen yang tak pernah terlupa adalah bagaimana pemerintah daerah berjibaku melawan pandemi. Apalagi pada waktu itu Jakarta adalah episentrum pandemi.
Di saat banyak pemimpin kewalahan dan tak tahu harus berbuat apa lagi, pemerintah daerah yang dipimpinnya berupaya memberikan yang terbaik bagi warganya. Ini sangat terasa sekali.
Pembangunan fisik kota boleh jadi bisa dilakukan siapa saja. Namun memanusiakan manusia, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang nuraninya terbuka.
Apakah legasi yang ditinggalkannya akan “abadi”, buah dari keikhlasan sebagaimana yang disampaikan Imam Malik? Mari kita sama-masa menanti.
Jazakallahu khairan untuk semua yang telah dilakukan bagi warga Jakarta, Pak.[ind]