ZUHUD itu salah satu akhlak mulia. Yaitu menjadikan dunia sekadar sarana, bukan tujuan. Jadi zuhud bukan berarti miskin.
Kadang ada yang rancu dalam pemahaman tentang zuhud. Seolah bahwa zuhud itu anti dengan anugerah Allah dalam dunia ini. Sehingga orang pun menyimpulkan bahwa zuhud berarti miskin.
Zuhud pun akhirnya diekspresikan melalui baju yang sangat sederhana, penampilan yang ala kadarnya, penghasilan yang tidak perlu besar, dan lainnya.
Dengan kata lain, zuhud diartikan sebagai miskin. Lebih parah lagi, menyalahkan mereka yang bekerja keras untuk menjadi kaya.
Kalau zuhud diartikan miskin, maka akan ada kesimpulan bahwa miskin itu mulia, atau sebagai prestasi dari kemuliaan seseorang dalam memandang dunia.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memang memerintahkan kita untuk zuhud: “Zuhudlah kalian terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” (HR. Ibnu Majah)
Para ulama menjelaskan bahwa zuhud itu bukan amalan fisik atau yang terlihat. Melainkan amalan hati. Jadi, zuhud tidak berarti mengenakan baju yang lusuh, makanan yang minim, tempat tinggal yang prihatin, dan lainnya.
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak yang kaya. Dan mereka adalah para sahabat yang sangat dekat dengan Nabi, antara lain Abu Bakar Ash-shidiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ‘anhum.
Ada lagi Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Amru bin Ash, dan lainnya. Warisan yang ditinggalkan oleh Abdurrahman bin Auf bahkan bernilai puluhan triliun rupiah.
Kalau memang zuhud dimaksudkan sebagai miskin, maka para sahabat yang sangat dekat dengan Nabi pasti sudah mengamalkan apa yang diperintahkan. Kenyataannya, bisnis mereka terus berkembang dan besar.
Jadi, zuhud itu amalan hati. Yaitu, meletakkan dunia sebatas di tangan saja. Bukan bertahta di hati. Tapi bukan berarti tidak butuh sarana dunia sama sekali.
Nabi juga mengajarkan bahwa sebaik-baik harta adalah harta yang ada dalam kepemilikan orang-orang soleh. Infak besar mereka akan memberikan banyak kebaikan.
Begitu banyak kegiatan dakwah, program keumatan; yang membutuhkan dana besar. Dari mana dananya kalau bukan melalui orang-orang soleh yang kaya.
Allah subhanahu wata’ala juga mendahulukan peran jihad dalam harta sebelum jihad dengan jiwa. “Berangkatlah kalian dengan rasa ringan maupun dengan rasa berat. Dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah: 41)
Boleh jadi, orang yang dengan busana bagus jauh lebih zuhud daripada yang berpakaian lusuh. Dan boleh jadi, mereka yang kaya lebih zuhud daripada yang miskin.
Karena zuhud bukan pada banyak atau sedikitnya harta yang dimiliki. Melainkan pada memposisikan harta: apakah sekadar sarana atau tujuan hidup. [Mh]