KDRT atau kekerasan dalam rumah tangga bisa muncul dari banyak sebab. Dan apa pun sebabnya, tetap saja pihak yang lemah akan menjadi korban.
Allah subhanahu wata’ala menciptakan pria dan wanita agar bisa saling melengkapi. Itulah sebuah keseimbangan hidup suami istri yang akan menghasilkan seribu satu maslahat.
Sayangnya, tidak semua suami istri mampu mengelola problematika mereka. Dan salah satu dampak itu, munculnya KDRT.
Berikut ini ada tiga sebab utama munculnya KDRT. Yaitu:
Satu, Manajemen Konflik yang Lemah.
Tidak semua suami istri mampu mengelola konflik di antara mereka. Hal utama ketidakmampuan itu adalah kurangnya kedewasaan dan kearifan individu.
Antara lain, sikap yang kekanak-kanakan. Anak-anak umumnya lebih mengendepankan emosi daripada nalar. Anak-anak umumnya juga lebih egois daripada kecenderungan untuk berbagi.
Suami istri itu manusia biasa. Ada kelebihan dan ada kekurangannya. Namun, selalu saja kelebihan jauh lebih besar dari kekurangan.
Nah, bagaimana suami istri bisa toleran atau berlapang dada dengan kekurangan yang kecil itu. Di sisi lain selalu mengharapkan kembalinya kelebihan yang tiba-tiba tertutup itu.
Selain itu, tidak ada konflik yang tanpa emosi. Kalau konflik boleh jadi sebagai hal alami karena adanya kesenjangan, tapi emosi hal lain yang harus diredupkan bersama.
Nabi mengajarkan, kalau seseorang marah, ia sebaiknya duduk dari posisi berdiri. Atau, tidur dari posisi duduk. Dan lebih baik lagi jika mengambil wudhu agar fisik dan hati kembali sejuk.
Kalau emosinya bisa diredupkan, maka konflik bisa diurai dengan baik. Kadang, benang kusut konflik bukan karena masalahnya, tapi karena cara pandangnya.
Kedua, Pola Asuh Sejak Kecil.
Siapa pun suami istri, mereka buah dari pola asuh keluarga sebelumnya. Yaitu, keluarga dari ayah ibu mereka.
Kekerasan itu secara alami tidak disukai siapa pun. Artinya, tanpa banyak belajar tentang akhlak, orang cenderung tidak ingin melakukan kekerasan terhadap orang lain. Terlebih lagi itu orang dekatnya.
Namun, kadang pola asuh menjadikan seseorang menganggap biasa tindak kekerasan. Dianggapnya, kekerasan bisa menjadi solusi, bisa mendidik, dan lainnya.
Karena puluhan tahun ia mengalami perlakuan dengan cara pemahaman ini, ia pun ‘tenggelam’ dalam budaya dan cara berpikir yang sama. Yaitu, kekerasan sebagai solusi.
Padahal, masalah itu harus diselesaikan melalui cara berpikir yang baik: apa sebabnya dan bagaimana solusinya. Bukan siapa yang lebih kuat, maka dia yang benar.
Dan kekerasan hanya akan melahirkan ketakutan. Bukan pemahaman atau kesadaran. Masalahnya, bagaimana mungkin orang yang takut bisa menyelesaikan masalahnya dengan baik.
Tiga, Lemahnya Pengamalan Agama.
Agama itu akhlak. Yaitu, bagaimana ia berbuat baik terhadap Tuhannya, terhadap keluarganya, terhadap lingkungannya, dan lainnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Dan akhlak itu bukan hanya sebatas pemahaman teoritis. Bahwa, ini benar dan itu salah. Tapi, pada pengamalannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengatakan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
Dalam hal ini, Nabi tidak sekadar mengajarkan. Tapi lebih dari itu, mencontohkan dengan sebaik-baiknya. [Mh]