KETETAPAN takdir sudah Allah tentukan jauh sebelum alam diciptakan. Hal ini agar kita tidak terlalu sedih terhadap yang luput dan tidak terlalu gembira terhadap yang diterima.
Pernahkah kita mengalami musibah yang menyedihkan? Dan sangat wajar jika ada rasa sedih ketika mengalami hal itu.
Pernahkah pula kita mengalami rezeki ‘nomplok’ atau rezeki dadakan? Dan sangat wajar jika ada gembira ketika mengalami hal itu.
Dua keadaan yang bertolak belakang itu direspon jiwa dengan reaksi yang berbeda. Ada sedih dan ada pula gembira.
Namun yang tidak boleh adalah ketika sedihnya berlarut-larut. Meskipun peristiwanya sudah berlalu sekian lama, tapi rasa sedihnya masih terus muncul tenggelam.
Begitu pun dengan gembira yang melampaui kewajaran. Disambut dengan pesta besar seolah jalan hidup akan terus datar.
Allah subhanahu wata’ala meluruskan dua sikap ekstrim ini: terlalu sedih dan terlalu gembira. Allah berfirman,
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian itu mudah bagi Allah.
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu…” (QS. 57: 22-23)
Bencana dan rezeki itu rahasia Allah, kapan dan bagaimana datangnya. Dan masing-masing kita boleh jadi akan mengalami takaran yang berbeda-beda.
Dengan memahami ayat ini, diharapkan seorang mukmin tetap dalam jalur istiqamah. Bagaimana pun dan apa pun yang akan dialaminya: bencana atau bahagia.
Jangan sampai kita seperti orang yang salah menyikapi ujian ini. Ketika dapat bahagia ia merasa bahwa Allah memuliakannya. Dan ketika dapat bencana, ia merasa bahwa Allah menghinakannya.
Yaitu, adanya buruk sangka pada Allah. Seolah-olah kalau orang soleh harus memperoleh bahagia di dunia. Sehingga sepanjang hidup dihiasi dengan senyum dan tawa.
Kalau seperti ini yang ada dalam imajinasi kita, maka orang yang paling kaya, paling selalu bahagia adalah para Nabi dan para sahabatnya.
Kenyataannya, justru merekalah orang yang paling banyak mengalami peristiwa duka. Seperti dijadikan musuh oleh para penguasa, dikejar-kejar, disiksa, diusir, bahkan dibunuh. Begitu pun terhadap keluarga mereka.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki tujuh putra dan putri. Dari tujuh itu, hanya satu yang wafat setelah beliau wafat.
Enam putra-putri Rasul wafat saat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup. Bayangkan bagaimana rasa dukanya, bagaimana rasa kehilangannya.
Jadi, tetaplah istiqamah menapaki jalan hidup ini: dalam suasana duka maupun bahagia. Agar kita tidak terlalu sedih ketika datang bencana dan tidak terlalu gembira ketika datang bahagia. [Mh]