HIDUP ini lebih banyak misterinya daripada yang dipahami. Dan kita pun menjadi terbiasa dengan misteri.
Kalau dihitung, yang kita alami dalam hidup ini jauh lebih banyak yang tidak diketahui daripada yang diketahui. Itu pun hasil “tebak-tebakan” logika manusia saja.
Sebagai contoh, apa yang menyebabkan manusia bisa mati. Ada yang menebak usia, ada yang bilang penyakit, dan lainnya.
Anehnya, tebak-tebakan ini menjadi sesuatu yang diyakini tanpa sadar oleh kita. Misalnya, orang tua yang merasa bahwa ia akan lebih dahulu mati daripada anak-anaknya. Padahal, belum tentu.
Begitu pun dengan orang yang sakit. Ia mengira bahwa penyakitnya akan menjadikannya meninggal dunia.
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah disarankan untuk diberikan pengawalan saat menjadi Khalifah. Dengan ringan beliau menjawab, “Hishni ajali.” Artinya, yang menjagaku adalah ajalku.
Artinya, kalau ajal memang belum sampai, bagaimana pun canggihnya upaya pembunuhan yang dilakukan, tidak akan pernah terjadi. Tapi jika memang ajal sudah tiba, dalam benteng yang super kokoh pun tetap mati.
Hal ini pula yang dilakukan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu saat menjabat Khalifah. Seorang warga Yahudi dari wilayah yang sangat jauh dari Madinah pernah tidak percaya kalau orang yang sedang duduk sendirian di bawah pohon kurma adalah Amirul Mukmin Umar bin Khaththab.
Ketika sakit parah, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu pernah disarankan untuk diperiksa ke tabib atau dokter.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pun bertanya, “Apakah tabib tidak bisa sakit dan mati?” Orang yang menyarankan pun menjawab, “Bisa.” Setelah menjawab, orang yang menyarankan pun tidak melanjutkan ucapannya.
Kita mungkin tidak pernah bertanya-tanya, kenapa saya lahir di ayah dan ibu ini. Dan, bukan di orang tua warga Arab, Eropa, Cina, dan lainnya. Kita pun akhirnya tanpa sadar memaklumi hal tersebut.
Itulah kehendak Allah subhanahu wata’ala. Bahkan, kita pun tidak bisa memilih apakah ingin lahir sebagai pria atau wanita.
Tentang wabah covid misalnya, orang mengatakan bahwa si fulan wafat karena covid. Pertanyaannya, kenapa dia wafat karena covid sementara kita tidak. Apakah kita lebih bisa menjaga kesehatan dari dia? Bukankah yang wafat banyak dari ahli kesehatan.
Begitu pun soal rezeki. Kenapa dia bisa menjadi orang berhasil secara ekonomi, sementara kita tidak? Apakah bisa dijawab dengan sederhana, “Karena ikhtiarnya berhasil.”
Bukankah begitu banyak orang yang melalui ikhtiar yang mirip dilakukannya, tapi hasilnya tidak sama alias tidak juga berhasil.
Ada juga yang mengatakan, kalau mau sukses, sekolah yang tinggi. Kenyataannya, begitu banyak orang yang berhasil secara ekonomi dan status sosial tapi pendidikannya standar saja.
Bukankah orang terkaya di Indonesia bukan dari lulusan S2 dan S3. Bukankah hanya dua mantan Presiden RI yang memiliki gelar pendidikan S3. Selebihnya, S1 dan di bawahnya.
Sekali lagi, jangan terjebak dalam logika semu tentang hidup ini. Jawabannya sederhana, Allah yang mengatur semuanya.
Yakini itu dengan sebaik-baiknya, dan banyaklah berdoa, berikhtiar, bersabar, dan tawakal.
Bukan ikhtiar yang membuat kita berhasil. Ikhtiar memang ada pahalanya karena itu perintah Allah. Tapi, keberhasilan adalah murni anugerah Allah subhanahu wata’ala. [Mh]