Kita telah mengetahui bersama bahwa mengajarkan tauhid kepada anak-anak sangatlah penting. Oleh sebab itu, kita harus mengetahui cara mengajarkannya agar apa yang diajarkan bisa dipahami dengan mudah oleh anak-anak.
Baca Juga: Bentuk Tauhid yang Harus Ditanamkan kepada Anak
Cara Mengajarkan Tauhid kepada Anak-anak
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan hal ini.
Mengajarkan tauhid kepada anak-anak seperti mengajari mereka berbagai permasalahan agama yang lain.
Di antara pengajaran yang paling baik untuk mereka adalah mengajarkan kitab Tsalatsatul Ushul karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab.
Jika anak-anak telah mampu menghafalnya di luar kepala, jelaskan kepada mereka makna dan kandungannya sesuai dengan tingkat pemahaman dan nalar mereka, maka ini merupakan kebaikan yang banyak.
Hal ini karena kitab tersebut (beberapa permasalahannya, pent) disebutkan dalam konteks tanya jawab dengan ungkapan dan kalimat yang jelas dan mudah.
Kemudian, perlihatkan kepada anak-anak beberapa tanda kekuasaan Allah dalam rangka menerapkan apa yang terkandung dalam kitab yang kecil tersebut.
Perlihatkan kepada mereka matahari, lalu tanyai mereka, “Siapa yang menciptakan matahari?” Demikian pula bulan, bintang, malam, dan siang, tanyakan kepada mereka,
“Siapa yang mampu menciptakan dan mengaturnya?” Semuanya merupakan ciptaan Allah azza wajalla.
Dialah yang mengatur semuanya. Terus hal ini dilakukan hingga benih fitrah di dalam diri mereka terairi dan tumbuh dengan subur, karena manusia itu sendiri secara fitrah berada pada sikap mentauhidkan Allah ‘azza wajalla, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كل مولود يولد على الفطرة ، فأبواه يهودانه أوينصرانه أو يمجسانه
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia sebagai Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.”
Demikian pula ajarkan kepada mereka wudhu’ dan cara berwudhu secara langsung dengan contoh perbuatan.
Seperti katakan, “Wudhu itu seperti ini.” Sambil mempraktikkan wudhu di depannya. Demikian juga shalat.
Itu semua diiringi dengan isti’anah (permohonan tolong) kepada Allah ta’ala serta permohonan hidayah kepada-Nya.
Di samping itu hendaknya menjauhi segala bentuk perkataan yang menyelisihi akhlak mulia maupun perbuatan haram di depannya.
Tidak membiasakan mereka berbuat dusta, khianat, dan berbagai akhlak yang tidak terpuji.
Kalau seandainya orang tua terjatuh ke dalam perbuatan maksiat, seperti merokok, maka janganlah merokok di hadapan anak-anak karena mereka akan memandang perbuatan itu adalah hal biasa dan remeh.
Dan ketahuilah bahwa kepala rumah tangga itu bertanggung jawab terhadap anggota keluarganya, berdasarkan firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَاالَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka.”
Tidaklah penjagaan kita dan keluarga kita dari api nereka kecuali jika kita membiasakan mereka untuk beramal shalih dan meninggalkan amal kejelekan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menegaskan yang demikian dalam sabdanya,
الرجل راع في أهله ومسؤول عن رعيته
“Seseorang itu sebagai pemimpin dalam keluarganya, maka ia akan ditanyai (bertanggung jawab) tentang mereka.”
Hendaknya seorang ayah mengetahui bahwa keshalihan anak-anak merupakan maslahat baginya di dunia dan akhirat, karena sesungguhnya orang yang paling dekat dengan ayah dan ibunya adalah anak-anak yang shalih dan shalihah.
وإذا مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له
“Jika seseorang meninggal dunia, terputuslah amalannya kecuali dari tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakan untuknya.”
Kita memohon kepada Allah agar memberikan pertolongan kepada kita semua untuk mampu memikul amanah dan tanggung jawab ini. [Cms]
Diterjemahkan dengan sedikit penyesuaian dari http://www.sahab.net
Majmu’ah Tarbiyatul Aulad
t.me/TarbiyatulAulad