BU Rani sakit hati. Niatnya memasukkan anak ke sekolah Islam yang terkenal itu lebih karena mendengar bahwa ustaz-ustaznya baik hati dan mutu pendidikannya sangat bagus.
Maka berapa pun dibayarkannya dengan harapan anaknnya keluar menjadi orang soleh dan dapat menggantikan kedudukan suaminya yang sudah lama meninggal dunia.
Membayangkan anaknya jadi imam shalat dengan hafalan surat yang panjang-panjang seperti yang dilihatnya di website. Namun semua itu tampaknya hanya mimpi.
Dengan ramah semua civitas akademika di sekolah Islam itu menyambut dan menjanjikan macam-macam. Mereka mengatakan akan mendidik anak-anak dengan optimis dan tidak lupa berkata sebagai pesan terakhir.
“Hidayah Allah yang punya. Jadi mohon ibu bantu doakan anak ibu dan akan kami didik dengan amanah.”
Baca juga: Anaknya Berhasil Dapat Beasiswa
Bu Rani walau harus menahan hati melihat anaknya ada dalam kerumunan anak lain yang juga masih terlihat lugu dan malu-malu mempasrahkan diri untuk tidak menangis. Dengan harapan yang membungkah dalam dada. Toh setelah tiga bulan bisa di tengok demikan pikirnya.
Awalnya, semua berjalan lancar dan Bu Rani mendapat kabar anaknya si Ihsan sudah mampu menghafal beberapa ayat dalam satu hari. Tapi satu yang Bu Rani lupa, Ihsan belum terbiasa dengan aturan di pesantren yang harus ada tengang rasa.
Ambil makanan hanya boleh satu jenis. Kalau sudah ayam tidak boleh telur. Lauk menu apa saja harus mau. Belum lagi kamar mandi yang harus berbagi, yang ketika giliran Ihsan mandi, setelah menunggu sepuluh orang, eh airnya habis. Kesal tentu saja. Tapi kalau nangis nanti dibully dikira anak mami.
Belum lagi aturan bangun pagi yang dilanjutkan dengan doa-doa yang sangat panjang dan juga bikin ngantuk lama-lama bikin bosan.
Sakit hati dengan aturan
Nonton televisi, main game atau baca komik? Mana mungkin bisa. Dan tiba-tiba, Ihsan rindu ibu, rindu masakan ibu, rindu omelan ibu, rindu bau parfum ibu, rindu mendengar langkah kaki ibu masuk kamarnya dan mencium perlahan-lahan dahinya yang semakin dicium semakin Ihsan merapatkan matanya, hanya bulu matanya saja yang bergerak menikmati ciuman ibu sampai Ihsan tertidur lelap dan terbangun karena suara ustaz yang menggelegar membangukan semua anak di dalam ruangan tanpa AC itu.
Dan rasa rindu pada ibu menyergap lagi, Ihsan kembali menangis tapi hanya bisa dilakukan di kamar mandi membasuh wajah yang berlinang air mata.
Hafalan pun terganggu, mau belajar matematika pun terganggu, inginnya tidur saja lagi agar bisa bermimpi lagi tentang ibu.
Alhasil, ketika ibu datang, Ihsan segera memeluk dan menceritakan semua mimpinya dan ketika ibu bertanya bagaimana hafalan Al-Qur’annya, Ihsan terbata tidak mampu menjawab. Ibu kemudian menemukan jawabannya di ruang kepala sekolah, bahwa Ihsan termasuk anak yang pencapaiannya rendah dan hafalan juga baru sedikit, kategori atau cap bahwa ada tanda-tanda ketidakberhasilan anaknya menyertai benak ibu yang melangkah sedih pulang ke rumah.
Buat apa aku tinggalkan anakku di boarding school bila aku menahan rindu setengah mati tapi pencapaian anakku kurang sekali.
Ibu harus berkonsultasi dengan ustaz. Begitu yang ada dalam benak Bu Rani. Tapi menurutku itu salah, yang sekolah di boarding kan bukan ustaznya. Sebaiknya bila ada anak yang kurang dalam pencapaian suatu target pembelajaran tanyalah pada anaknya ada apa dan solusinya bagaimana.
Bicarakan solusinya bersama dengan anak. Seringkali orangtua dan guru lupa melibatkan anak dalam menyelesaikan masalah mereka sendiri. Biarkan anak berpikir bagaimana solusinyang tepat dan cepat untuk dirinya.
Sehingga anak pun dapat berlatih mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan bisa segera siap untuk belajar kembali mencapai target yang telah ditentukan.
Website: