Ada enam gibah yang diperbolehkan. Namun, bukan berarti kita menganggap gibah merupakan suatu yang baik. Sebisa mungkin kita perlu menghindari gibah selain 6 keadaan ini.
Baca Juga: Respons Para Ulama Terdahulu ketika Digibahi
6 Gibah yang Diperbolehkan
Para ulama menjelaskan ada 6 hal yang diperkecualikan boleh melakukan ghibah:
1. Orang yang dizalimi
Menyampaikan kezaliman yang diterimanya dari seseorang kepada penguasa atau orang yang memiliki kemampuan untuk mencegah dan menghambatnya.
Seseorang yang didzhalimi boleh menyebutkan keburukan-keburukan pihak yang mendzhaliminya sebatas kedzhaliman itu saja, tidak pada hal-hal lain.
Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman:
لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلَّا مَنْ ظُلِمَ وَكَانَ اللَّهُ سَمِيعًا عَلِيمًا
Allah tidaklah menyukai ucapan keras tentang keburukan kecuali dari orang yang terdzhalimi dan Allah adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (Q.S anNisaa’:148)
2. Meminta pertolongan untuk merubah kemunkaran
Menjelaskan kepada orang yang mampu untuk merubah kemunkaran yang dilakukan seseorang.
Misalkan, berkata, “Fulan telah minum khamr, peringatkan dia untuk berhenti minum khamr.
3. Meminta fatwa
Meminta fatwa kepada ulama tentang keadaan seseorang yang terkait dirinya.
Atau, meminta pertimbangan tentang keadaan seseorang yang akan melamar atau dilamar dalam pernikahan.
Orang yang mengerti keadaan sang pelamar atau orang yang akan dilamar harus menjelaskan keadaannya meski harus menyebutkan sisi-sisi keburukan.
Ketika Fathimah bintu Qoys dilamar oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm, beliau meminta pertimbangan.
Maka Nabi shollallahu alaihi wasallam menyatakan:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Adapun Abu Jahm tidak pernah menurunkan tongkat dari pundaknya (suka memukul atau sering safar), sedangkan Muawiyah miskin tidak memiliki harta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid. (H.R Muslim no 2709)
4. Menyebutkan tentang orang yang terang-terangan berbuat kefasikan dan kebid’ahan (Ahlul Bid’ah)
Al-Hasan al-Bashri (salah seorang tabi’i) menyatakan:
لَيْسَ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ وَلاَ لِفَاسِقٍ يُعْلِنُ بِفِسْقِهِ غِيْبَة
Tidak ada gibah untuk Ahlul Bid’ah dan orang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya (riwayat alLalikai dalam Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah wal Jamaah)
5. Memperingatkan kaum muslimin tentang keadaan seseorang yang memiliki sifat; sikap; dan pemikiran yang membahayakan.
Seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah ketika datang seorang laki-laki meminta ijin akan menemui Nabi, Nabi kemudian berkata kepada Aisyah:
بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ
Dia adalah seburuk-buruk saudara suatu kaum. (H.R alBukhari no 5594 pada Bab ‘Bolehnya berghibah terhadap orang-orang yang merusak dan ragu’) termasuk dalam kategori ini adalah menjelaskan tentang keadaan perawi-perawi hadits, ada yang lemah dan pendusta.
Semua ini bukan ghibah yang dilarang.
6. Ta’rif, pengenalan tentang seseorang bukan dalam rangka menyebut aibnya, tetapi karena ia telah dikenal luas dengan keadaan itu, seperti sebutan si kurus, si keriting, dan sebagainya.
Sebagian ulama mempersyaratkan sebutan itu tidaklah dibenci oleh orang yang dibicarakan.
Sebaiknya jika bisa menggunakan sebutan lain selain ciri-ciri fisik tersebut, itu lebih utama.
Nabi shollallahu alaihi wasallam menyebut salah seorang Sahabat dengan Dzul Yadain yang artinya yang memiliki 2 tangan, karena tangannya panjang dan sudah dikenal luas dengan sebutan itu.
Ketika Sahabat itu mengingatkan Nabi bahwa sholat yang biasanya 4 rakaat hanya beliau lakukan 2 rakaat, Nabi bertanya kepada para Sahabat yang lain:
أَصَدَقَ ذُو الْيَدَيْنِ
Apakah benar apa yang disampaikan Dzul Yadain? (H.R alBukhari no 6709 dan Muslim no 897)
[Cms]
http://telegram.me/alistiqomah