BISAKAH Kakak Kedua menjadi Wali Nikah sementara Kakak Pertama masih ada? Bagaimana perizinannya, apakah tetap harus minta izin atau tidak diperbolehkan sama sekali?
Ustazah Husna Hidayati, M.H.I. menjelaskan mengenai permasalahan yang ditanyakan oleh salah satu pembaca ChanelMuslim.com sebagai berikut.
Ustazah, bisakah wali nikah, dilaksanakan oleh abang yang kedua, sementara abang yang tertua masih ada, dan tanpa meminta izin darinya?
Baca Juga: Wali Nikah Anak Angkat Perempuan
Kakak Kedua menjadi Wali Nikah
Mengenai siapa saja yang menjadi wali, Imam Abu Suja dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib (Penerbit Al-Hidayah, surabaya, 2000), menjelaskan mengenai siapa saja yang diprioritaskan menjadi wali sebagai berikut:
وأولى الولاة الأب ثم الجد أبو الأب ثم الأخ للأب والأم ثم الأخ للأب ثم ابن الأخ للأب والأم ثم ابن الأخ للأب ثم العم ثم ابنه على هذا الترتيب فإذا عدمت العصبات ف… الحاكم
“Wali paling utama ialah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kandung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada wali ‘ashabah, maka…hakim.”
Jika ada beberapa orang yang berasal dari jalur hubungan yang sama (misalnya ada bapak dan kakek) maka didahulukan yang kedudukannya lebih dekat (yaitu bapak).
Barulah kemudian beberapa orang yang kedudukannya sama, misalnya antara saudara kandung dengan sebapak, maka didahulukan yang lebih kuat, yaitu saudara kandung. (Syarhul Mumthi’, 12: 84)
Al-Buhuti mengatakan, “Lebih didahulukan bapak si wanita dalam menikahkannya, karena bapak adalah orang yang paling paham dan paling menyayangi putrinya.
Setelah itu, orang yang mendapatkan wasiat (wakil) dari bapaknya (untuk menikahkan putrinya), karena posisinya sebagaimana bapaknya.
Setelahnya adalah dari bapak ke atas, dengan mendahulukan yang paling dekat, karena wanita yg akan menikah ini adalah keturunannya, dalam posisi ini (kakek) disamakan dengan bapaknya.
Setelah kakek adalah anak si wanita (jika janda), kemudian cucunya, dan seterusnya ke bawah, dengan mendahulukan yang paling dekat.
Ini berdasarkan hadis dari Ummu Salamah, bahwa setelah masa iddah beliau berakhir, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk melamarnya.
Ummu Salamah mengatakan, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun dari waliku yang ada di sini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
“Tidak ada seorangpun di antara walimu, baik yang ada di sini maupun yang tidak ada, yang membenci hal ini.
Ummu Salamah mengatakan kepada mereka, “Wahai Umar, nikahkanlah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Umar pun menikahkannya”. (HR. Nasa’i).
Selanjutnya (setelah anaknya), adalah saudaranya sekandung, kemudian saudara sebapak, kemudian anak saudara laki-laki (keponakan) dan seterusnya ke bawah.
Didahulukan anak dari saudara sekandung dari pada saudara se ayah. Setelah itu barulah paman (saudara bapak) se kandung, kemudian paman (saudara bapak) sebapak, anak lelaki paman (sepupu dari keluarga bapak).
Selanjutnya, adalah orang yang memerdekakannya. Jika semua tidak ada maka yang memegang perwalian adalah hakim atau orang yang mewakili (pegawai KUA resmi).
Urutan siapa yang berhak menjadi wali harus dipenuhi secara hierarkis. Misalnya, laki-laki yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah kandung mempelai perempuan.
Jika ayah tidak bisa atau tidak memenuhi syaratnya, baru bisa digantikan dengan wali nikah yang lain sesuai urutan yang berlaku.
Wali wanita yang berhak untuk menikahkan seseorang adalah urutan yang ditentukan di atas. Tidak boleh mendahulukan wali yang jauh, sementara wali yang dekat masih ada ketika akad nikah.
Ibn Qudamah mengatakan, “Apabila ada wali yang lebih jauh menikahkan seorang wanita, sementara wali yang lebih dekat ada di tempat, kemudian si wanita menawarkan, sementara wali yang lebih dekat tidak mengizinkan maka nikahnya tidak sah.
Inilah pendapat yang diutarakan asy-Syafi i…. karena wali yang jauh tidak berhak, selama wali yang dekat masih ada, sebagaimana hukum warisan (keluarga yang lebih jauh tidak berhak, selama masih ada keluarga yang lebih dekat).” (Al- Mughni, 7:364).
Al-Buhuti mengatakan, “Jika wali yang lebih jauh menikahkannya, atau orang lain menjadi walinya, meskipun dia hakim (pejabat KUA), sementara tidak ada izin dari wali yang lebih dekat maka nikahnya tidak sah, karena tidak ada perwalian ketika proses akad, sementara orang yang lebih berhak (untuk jadi wali) masih ada.” (Ar-Raudhul Murbi’, 336).
Untuk dapat menjadi wali nikah, tentunya syarat yang harus dipenuhi bukan hanya secara hierarkis seseorang masuk dalam urutan yang memiliki hak perwalian.
Baca Juga: Hukum Menikah tanpa Wali
Persyaratan Wali Nikah
Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi yang menjadi syarat sah untuk menjadi wali nikah. Syarat tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, beragama Islam. Seorang wali nikah haruslah muslim. Oleh karena itu, jika ia kafir, maka pernikahan tidak sah, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu.
Kedua, baligh. Syarat selanjutnya wali nikah harus balig dan cukup umur. Artinya, wali nikah itu bisa bertanggung jawab untuk urusan orang lain, termasuk menikahkan perempuan perwaliannya.
Ketiga, berakal sehat, yang artinya, tidak mengalami gangguan jiwa, tidak mabuk, serta sadar atas perkara yang ia kerjakan.
Keempat, laki-laki. Melalui persyaratan ini, maka pernikahan tidak sah menuruti wali nikah berjenis kelamin perempuan atau seseorang yang berkelamin ganda.
Kelima, adil, yaitu dapat menjaga diri kehormatan, dan martabatnya. Kebalikan dari orang yang adil adalah fasik.
Jadi, dalam hal ini, boleh saja abang kedua menjadi wali nikah sekalipun abang pertama masih ada.
Dengan syarat bahwa abang kedua ini tidak memenuhi syarat-syarat menjadi seorang wali. Atau karena suatu hal atau lainnya, abang pertama tidak mampu menjadi wali dan menguasakan pada adiknya (abang kedua).
Jika syarat-syarat menjadi wali dapat dipenuhi oleh abang pertama (sesuai urutan), tidak boleh mengalihkan perwalian pada orang di bawahnya. Wallaahu a’lam.[ind]