ChanelMuslim.com- Satu tahun pandemi, akhirnya Pak Hasan ikut kena dampak. Kantor tempatnya bekerja tak mampu lagi membayar gaji pegawai. Sementara, biaya operasional terus membengkak. Pak Hasan kena PHK.
Lima tahun bekerja sebagai sopir, memberikan kesan tersendiri buat ayah dua anak ini. Ia bisa bepergian jauh tanpa ongkos. Bisa mengenal jalan-jalan di pelosok daerah. Semua ia peroleh dari pengalaman sebagai sopir itu.
Kini, Pak Hasan mencari job baru. Sayangnya, keterampilannya hanya itu, sebagai sopir. Dari semua lamaran yang ia kirim, belum satu pun yang membuahkan hasil. Nihil.
Tak terasa, sudah jalan lima bulan ini ia menganggur. Untuk menutupi biaya dapur, terpaksa, ia menjual kulkas satu pintunya seharga delapan ratus ribu rupiah. Padahal, kulkas itu belum satu tahun ia beli.
Rumah mungil Pak Hasan memang hanya berjarak tiga rumah dari masjid. Tidak heran jika di hari-hari nganggurnya itu, ia bisa leluasa mengumandangkan azan. Di hampir semua waktu shalat, kecuali Subuh.
Ruhaninya terpanggil untuk lebih banyak di masjid. Ia berzikir, tilawah, dan tentu saja berdoa. Ia terus memanjatkan doa agar rezekinya tak seret seperti ini.
Doa Pak Hasan akhirnya terkabul. Pengurus masjid ternyata tertarik dengan suara azan Pak Hasan. Ia menawarkan jebolan madrasah Aliyah ini menjadi marbot. Gajinya bulanan. Mungkin cukup untuk ukuran darurat.
Awalnya, Pak Hasan ragu. Apa bisa ia yang terbiasa berada di jalan, tiba-tiba sering berdiam di masjid. Azan lima waktu, membersihkan ruang shalat, menyikat kamar mandi, dan menyapu halaman masjid. Kadang, ia juga harus siap menjadi imam kalau tak ada pengurus yang datang.
“Sudah Mas terima aja. Nggak ada lagi yang bisa kita jual buat bulan besok,” ucap istrinya.
Mungkin agak terpaksa, Pak Hasan akhirnya bekerja sebagai marbot. Mulailah hari-harinya lebih banyak berada di masjid. Kadang ia berpikir, yah, buat sementara sambil nunggu tawaran kerja sopir lagi.
Satu bulan karir Pak Hasan sebagai marbot berjalan mulus. Cuma satu saja yang super berat buatnya: azan Subuh. Padahal selama ini, jangankan mengumandangkan azannya, mendengar azan Subuh saja jarang sekali. Ia biasa bangun tidur saat orang-orang pulang dari masjid.
Satu lagi yang juga agak berat ia lakukan, menunggu waktu Isya saat usai shalat Magrib. Karena jika ia pulang selepas shalat Magrib, waktunya agak tanggung. Ia khawatir terlewat azan Isya karena masih makan, ngopi di rumah, atau urusan lainnya.
Dengan kata lain, Pak Hasan harus tetap berada di masjid dari sebelum Magrib hingga shalat Isya usai. Waktu tanggung itu ia isi dengan tilawah, zikir, dan tentu saja doa. Doa supaya bisa diterima jadi sopir lagi.
Dari segi tugas, jadi marbot masjid tergolong ringan buat Pak Hasan. Azan lima waktu tidak masalah. Selesai shalat dan bersih-bersih, ia bisa pulang. Membersihkan kamar mandi masjid juga tidak tiap hari. Mungkin setara dengan gajinya yang bagi Pak Hasan tergolong minim.
“Yah, namanya juga masjid kampung. Bukan masjid agung,” ucap pengurus masjid saat membayarkan gaji Pak Hasan pertama kali.
Tak terasa, satu tahun sudah Pak Hasan berdinas sebagai marbot. Dan selama satu tahun itu pula, tak ada tawaran kerja jadi sopir.
Akhirnya, ia merasakan sebagai marbot di bulan Ramadan. Kalau di bulan lain, ia bisa pulang selepas Isya. Kini, ia harus ikutan shalat tarawih. Waktu pun akan lebih lama kalau ada ceramah.
Ada untungnya juga jadi marbot di bulan Ramadan. Ia bisa full ikutan buka puasa bersama di masjid. Setiap hari. Bagaimana tidak? Karena Pak Hasanlah yang menyiapkan berbagai kudapan yang datang dari warga sekitar masjid.
Kadang, ia makan dengan rendang. Kadang sayur asam dengan temannya ikan asin dan tempe goreng. Kadang sate ayam. Dan masih banyak variasi lain. Kalau sisa, ia bisa bawa pulang untuk istri dan anaknya.
Kini, di malam-malam i’tikaf Pak Hasan kerap tercenung di antara suasana khusyuk dalam masjid. Sebuah suasana yang baru kali ini ia rasakan seumur hidupnya. Baru kali itu, ia mengikuti acara i’tikaf di masjid. Full sepuluh hari.
Pak Hasan menangis. Ia bingung harus bersedih atau bersyukur. Jadi sopir gajinya memang lumayan. Tapi, pengalaman hidup berada di masjid seperti ini nyaris tak pernah ia rasakan. Tenang, dan syahdu.
Di malam-malam terakhir bulan Ramadan itu, Pak Hasan hanyut bersama jamaah masjid yang lain dalam suasana kekhusyukan i’tikaf. Mereka berzikir. Mereka tilawah Al-Qur’an. Mereka mendengarkan tausiyah. Dan tentu saja, mereka berkesempatan besar untuk memanjatkan doa.
Kali ini, Pak Hasan bingung dengan doanya. Apakah ia tetap akan berdoa untuk bisa dapat peluang menjadi sopir, atau tetap sebagai marbot masjid.
“Ya Allah, anugerahkan hambaMu kecukupan rezeki. Sebagai apa pun hambaMu bekerja,” ucapnya lirih. [Mh]