USTAZ Farid Nu`man menjelaskan tentang perkara terhenti haid sore, apakah harus mengqadha Ashar dan Zuhur? Dijelaskan bahwa tidak ditemukan hadits dari Nabi tentang meng-qadha shalat bagi wanita haid, atas shalat yang ditinggalkannya termasuk jika datang sucinya saat sore hari.
Adapun riwayat yang menyebutkan hal itu, baik dari Ibnu Abbas dan Abdurrahman bin ‘Auf Radhiallahu ‘Anhuma, adalah perkataan mereka berdua, dengan kata lain sebagai pendapat sahabat nabi, yang kemudian dianut oleh banyak ulama.
Baca Juga: Bunda, Kenali dengan Baik Perbedaan Darah Haid dan Darah Keguguran!
Terhenti Haid saat Sore, Apakah Harus Mengqadha Ashar dan Zhuhur?
Namun, pendapat ini diingkari oleh ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, dan menganggapnya sebagai pendapat kelompok Haruriyah (Khawarij). Menurutnya tidak ada qadha shalat bagi wanita haid, secara umum shalat apa pun.
Dari Mu’adzah, dia berkata: Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
ما بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
“Kenapa wanita haid mesti meng-qadha puasa tapi tidak meng-qadha shalat?” Aisyah menjawab: “Apakah kamu orang haruriyah (khawarij)? Aku (Mu’adzah) menjawab: “Aku bukan Haruriyah, tapi aku hanya bertanya.”
Aisyah berkata: “Kami pernah mengalaminya (haid), kami diperintahkan untuk mengqadha shaum, tapi tidak diperintah mengqadha shalat.” (HR. Muslim No. 335)
Imam Al ‘Aini mengomentari perkataan ‘Aisyah di atas:
لأن طائفة من الخوارج يوجبون على الحائض قضاء الصلاة الفائتة في زمن الحيض وهو خلاف الإجماع
Karena segolongan khawarij mewajibkan bagi wanita haid untuk meng-qadha shalat yang telah ditinggalkan pada saat haid, dan ini bertentangan dengan ijma’. (‘Umdatul Qari’, 5/473)
Imam Abul ‘Abbas Al Qurthubi Rahimahullah berkata:
وفي كتاب أبي داود : أن سمرة كان يأمر النساء بقضاء صلاة الحيض ، فأنكرت ذلك أم سلمة
Dalam kitab Abu Daud disebutkan bahwa Samurrah memerintahkan kaum wanita mengqadha shalat bagi wanita haid, tapi hal itu diingkari oleh Ummu Salamah. (Al Mufhim, 4/70)
Maka, ini merupakan salah satu pandangan ulama, bahwa secara umum wanita haid tidak usah mengqadha shalatnya, termasuk jika masa sucinya datang saat sore menjelang terbenam matahari.
Tidak usah bagi mereka mengqadha ashar dan zuhurnya. Adapun apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Abdurrahman bin ‘Auf adalah pendapat mereka berdua, bahwa khusus jika terhentinya haid sore hari maka wajib mengqadha ashar dan zuhur sekaligus, bukan shalat-shalat sebelumnya.
Alasannya adalah karena haid diqiyaskan dengan “udzur”, sebagaimana tidur, maka saat sadar dia mesti meng-qadhanya. Inilah pendapat yang juga dipilih banyak imam.
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan:
وَلِهَذَا كَانَ عِنْدَ جُمْهُورِ الْعُلَمَاءِ : كَمَالِكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد إذَا طَهُرَتْ الْحَائِضُ فِي آخِرِ النَّهَارِ صَلَّتْ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَإِذَا طَهُرَتْ فِي آخِرِ اللَّيْلِ صَلَّتْ الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا كَمَا نُقِلَ ذَلِكَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عَبَّاسٍ ؛ لِأَنَّ الْوَقْتَ مُشْتَرِكٌ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي حَالِ الْعُذْرِ فَإِذَا طَهُرَتْ فِي آخِرِ النَّهَارِ فَوَقْتُ الظُّهْرِ بَاقٍ فَتُصَلِّيهَا قَبْلَ الْعَصْر
Oleh karenanya, inilah pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama, seperti Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Jika wanita haid menjadi suci pada akhir siang (maksudnya sore) maka dia mesti shalat zhuhur dan ashar bersamaan.
Jika sucinya di akhir malam, maka dia shalat maghrib dan Isya bersamaan, sebagaimana hal itu telah dinukil dari Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas, karena saat itu adalah waktu yang menjadi hak dua shalat itu dikala dia masih halangan. (Majmu’ Al Fatawa, 21/434)
Namun, nampaknya Imam Ibnu Taimiyah sendiri tidak memilih pendapat ini, menurutnya pendapat tersebut lemah, katanya:
وَالْأَظْهَرُ فِي الدَّلِيلِ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ أَنَّهَا لَا يَلْزَمُهَا شَيْءٌ ؛ لِأَنَّ الْقَضَاءَ إنَّمَا يَجِبُ بِأَمْرِ جَدِيدٍ وَلَا أَمْرَ هُنَا يَلْزَمُهَا بِالْقَضَاءِ وَلِأَنَّهَا أَخَّرَتْ تَأْخِيرًا جَائِزًا فَهِيَ غَيْرُ مُفْرِطَةٍ
Pendapat yang lebih benar menurut dalil adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, bahwa wanita itu tidak wajib meng-qadhanya. Sebab qadha itu hanyalah diwajibkan karena adanya perkara baru, sedangkan apa yang dialaminya bukanlah keadaan baru yang membuatnya mesti qadha, sebab penundaan shalat yang dia lakukan adalah perkara yang dibolehkan selama dia tidak meremehkannya. (Ibid, 23/335)
Jadi, masalah ini diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian mengatakan sama sekali tidak qadha. Sebagian lain mengatakan wajib qadha, khususnya jika suci di sore hari, maka dia qadha zuhur dan ashar.
Jika dia suci malam hari, maka dia qadha maghrib dan isya, inilah pendapat mayoritas ulama, sementara Imam Ibnu Taimiyah melemahkan pendapat itu.
Tapi, para ulama sepakat jika haidnya terhenti saat zuhur, hendaknya dia segera mandi lalu melakukan shalat zuhur. Atau, kadang ada kendala teknis, dia suci saat zuhur, tapi baru sempat mandi saat Ashar, mungkin karena sedang dalam perjalanan atau di kantor, maka dia mesti melakukan shalat zuhur yang ditinggalkan itu, lalu shalat Ashar.
Wallahu A’lam.[ind/Cms]