PERSAHABATAN renggang karena utang. Saya punya sahabat baik, semenjak dia berutang kepada saya, hubungan kami semakin jauh. Dia seolah menghindari saya. Setiap saya tagih utangnya ia selalu beralasan, belum punya uang.
Padahal ia memiliki mobil. Akhir-akhir ini, dia selalu tidak angkat telepon kalau saya telepon. Bagaimana caranya agar dia mau membayar utang saya. Saya itu sudah jengkel sekali, dia sebenarnya mampu membayar.
Bagaimana menenangkan hati saya dari perasaan jengkel dan marah?
Baca Juga: Doa Lunas Utang dan Anti Riba
Persahabatan Renggang karena Utang
Menjawab pertanyaan itu, motivator dan pegiat parenting dari Rumah Pintar Aisha Randy Ariyanto W. dan Dyah Lestyarini membahas dua sudut sebagai penerima utang dan pemberi utang.
Mulai dulu dari yang penerima utang. Seyogyanya, kita kalau bisa menghindari yang namanya berutang. Kalau benar-benar tidak mendesak maka jangan sampai berutang.
Berutang boleh asalkan benar-benar sedang membutuhkan atau mendesak. Jika kita punya keinginan dan bisa ditunda, maka lebih baik ditunda sambil mengumpulkan uang untuk membayarnya.
“Dari Aisyah r.a: Rasulullah berdoa dalam sholat, Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan terlilit utang.
Lalu ada seseorang yang bertanya: mengapa Anda banyak meminta perlindungan dari utang, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab:
Sesungguhnya seseorang apabila sedang berutang ketika dia berbicara biasanya berdusta dan bila berjanji sering menyelisihinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca Juga: Hukum Utang bagi Seorang Muslim
Hadis tentang Utang
Banyak sekali hadis yang menggambarkan begitu beratnya seseorang yang berutang di antaranya.
“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: sombong, ghulul (khianat), dan hutang, maka dia akan masuk surga”. (HR. Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah).
Seseorang yang berutang dan hingga meninggal belum sempat melunasi utangnya maka ia akan melunasinya. Bagaimana cara melunasinya sedangkan di akhirat sudah tidak ada lagi uang, emas, harta dll, caranya dengan mengambil amal pahalanya.
Rugi kan, sudah capek-capek mengumpulkan pahala eh pahala kita malah diberikan kepada orang lain. Padahal selama di dunia kita bisa lho, dengan mudah membayarnya.
Nah, kalau sekiranya kita sudah kehabisan pahala dengan apa kita membayar utang. Dengan cara mengambil dosa-dosa sang pemberi utang.
Jadi dosa-dosa sang pemberi utang diambil dan diberikan kepada diri kita. Dampaknya, orang yang berutang itu akan semakin lama tinggal di neraka dan siksaannya semakin berat.
Mereka yang berbuat dosa (pemberi utang), dia yang menerima siksa (penerima utang).
“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia, dengan niat ingin menghancurkannya, maka Allah juga akan menghancurkan dirinya.” (HR. Bukhari)
Kami duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya,
“Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”
Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyolati jenazah tersebut. Kemudian didatangkanlah jenazah lainnya.
Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.”
Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau mensholati jenazah tersebut.
Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata, “Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.”
Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki utang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.”
Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku saja yang menanggung utangnya.” Kemudian beliau pun menyolatinya.” (HR. Bukhari).
Nabi saja enggan mensholati orang yang meninggal masih mempunyai utang dan tidak/belum melunasinya. Makanya jika ada saudara yang meninggal, ahli warisnya perlu mencari tahu apakah almarhum masih punya utang, jika masih ada maka ahli warisnya berkewajiban untuk melunasinya untuk meringankan beban almarhum.
“Semua dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim).
“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki utang satu dinar atau satu dirham, maka utang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.” (HR. Ibnu Majah)[ind]