BAGAIMANAKAH pengertian masjid yang sebenarnya? Di kampung ada tanah wakaf masjid dan baru dibangun fondasinya saja, tapi digunakan shalat berjamaah 5 waktu (dibuat atap seadanya).
Terjadi perdebatan msyarakat karena ada ustaz yang mengatakan sah i’tikaf dan tidak boleh menaikkan sandal. Ada lagi yang mengatakan belum dikatakan masjid karena belum ada dindingnya. Mohon penjelasannya, syukron !! (Abdul Aziz-NTB)
Baca juga: Kisah Abdullah bin Ummi Maktum Dituntun Iblis ke Masjid
Pengertian Masjid yang Sebenarnya
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan sebagai berikut.
Bismillahirrahmanirrahim..
Pada prinsipnya semua permukaan bumi adalah masjid, sebagaimana hadits:
وَجُعِلَتْ لِي الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
Dijadikan untukku bumi ini sebagai masjid dan suci. (HR. Bukhari no. 335)
Ada pun makna secara khusus, masjid adalah tempat ibadah shalat umat Islam. Dalam fiqih, tidak ada ketentuan bahwa masjid wajib memiliki dinding secara fisik. Yang terpenting adalah tanah atau tempat tersebut telah ditetapkan sebagai masjid (diwakafkan atau diniatkan sebagai masjid), sehingga memiliki status hukum sebagai masjid.
Namun, dalam praktiknya, dinding sering kali dibangun untuk:
– Menandai batas masjid – Agar jelas mana area yang termasuk masjid dan mana yang bukan.
– Memberikan kenyamanan – Melindungi jamaah dari panas, hujan, hewan berbahaya, dan gangguan lainnya.
– Keamanan – Untuk menjaga kesucian dan ketertiban masjid.
Sebagian ulama berpendapat bahwa masjid yang tidak memiliki dinding tetap sah selama memiliki batas yang jelas, seperti dengan tiang atau tanda tertentu. Ini berdasarkan keberadaan Masjid Nabawi pada masa awal yang hanya memiliki atap dari pelepah kurma dan sebagiannya terbuka.
Jadi, dinding bukanlah syarat sah sebuah masjid, tetapi lebih kepada faktor fungsional dan kemaslahatan.
Imam An Nawawi berkata:
“وَأَمَّا الْمَسْجِدُ فَلَا يَصِحُّ إِلَّا بِأَنْ يَكُونَ مَوْقُوفًا وَيَكُونُ الْوَقْفُ تَحْبِيسًا وَتَسْبِيلًا وَيَكُونُ عَلَى التَّأْبِيدِ وَيَكُونُ لِلْمُسْلِمِينَ عَامَّةً وَأَنْ يَكُونَ مَفْرُوزًا عَنْ غَيْرِهِ وَلَوْ بِخَطٍّ فِي الْأَرْضِ أَوْ نَحْوِهِ.”
“Adapun masjid, maka tidak sah kecuali jika telah diwakafkan, dan wakaf itu harus bersifat abadi untuk kaum Muslimin secara umum, serta harus memiliki batas yang jelas, meskipun hanya berupa garis di tanah atau semacamnya.” (Al-Majmu’ Syarh al Muhadzdzab, 3/194)
Imam Ibnu Abidin mengatakan:
وَيُشْتَرَطُ فِي الْمَسْجِدِ أَنْ يَكُونَ وَقْفًا عَلَى التَّأْبِيدِ، وَلَا يُشْتَرَطُ فِيهِ جُدْرَانٌ أَوْ بِنَاءٌ، بَلْ يَكْفِي تَعْيِينُهُ وَتَخْصِيصُهُ لِلصَّلَاةِ الدَّائِمَةِ.”
“Disyaratkan dalam masjid bahwa ia harus diwakafkan secara permanen, dan tidak disyaratkan adanya dinding atau bangunan, tetapi cukup dengan penentuan dan pengkhususan tempat itu untuk shalat secara permanen.” (Hasyiyah Ibn ‘Abidin, 2/444)
Maka, untuk kasus yang ditanyakan, masjid tersebut sudah dianggap masjid dan i’tikaf di dalamnya walau belum ada dinding, asalkan area tersebut memang sudah diniatkan sebagai masjid atau diwakafkan sebagai masjid.
Demikian. Wallahu a’lam.[ind]