APAKAH semua urusan agama yang tidak ada pada masa Rasul itu disebut bid`ah tercela? Ustaz Farid Nu`man menjelaskan kepada kita tentang hal ini. Bid’ah dalam agama adalah buruk dan terlarang, semua muslim tahu itu. Itu perbuatan yang sia-sia dan bahkan berdosa.
Namun, persoalannya adalah kriteria “suatu amalan” disebut bid’ah tercela itu seperti apa? Inilah yang menjadi sumber perdebatan manusia. Ada yang menyederhanakan: “Semua urusan agama yang belum ada pada masa Rasul” adalah bid’ah yang tercela.
Definisi seperti ini, efeknya bisa kemana-mana. Jika semata-mata tidak ada di zaman Nabi ﷺ adalah bid’ah tercela maka: pembukuan Al Qur’an, ucapan taqabbalallahu minna wa minkum saat hari raya, pembukuan hadits Nabi ﷺ, akan menjadi bid’ah tercela sebab semua ini adalah hal baru yang belum terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Baca Juga: Perjuangan Bara` bin Malik dalam Berperang
Apakah Semua Urusan Agama yang Tidak Ada pada Masa Rasul Disebut Bid`ah Tercela?
Definisi yang bagus adalah yang disampaikan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani sebagai berikut: Imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani berkata:
مَا أُحْدِثَ وَلَيْسَ لَهُ أَصْلٌ فِي الشَّرْعِ وَيُسَمَّى فِي عُرْفِ الشَّرْعِ بِدْعَةً وَمَا كَانَ لَهُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَيْهِ الشَّرْعُ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ فَالْبِدْعَةُ فِي عُرْفِ الشَّرْعِ مَذْمُومَةٌ
Hal baru yang diada-adakan yang tidak memiliki dasar dalam syariat, dalam makna syariat disebut dengan bid’ah. Sedangkan apa-apa yang memiliki dasar dalam syariat maka itu bukan bid’ah, dan bid’ah dalam definisi syariat itu tercela. (Fathul Bari, 13/253)
Atau yang didefinisikan oleh Imam Ibnul Jauzi sebagai berikut:
والبدعة: عبارة عن فعل ما لم يكن فابتُدع، والأغلب في المبتدعات أنها تصادم الشريعة بالمخالفة، وتوجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان
“Bid’ah adalah ungkapan tentang perbuatan yang belum pernah ada lalu dibuat ada, umumnya bid’ah itu bertentangan dengan syariat serta menyelisihinya, yang memunculkan tambahan atau pengurangan kepada syariat.” (Dikutip oleh Syaikh Sa’id bin Nashir al Ghamidi, Haqiqatul Bid’ah wa Ahkamuha, hal. 265)
Jadi, bid’ah yang tercela menurut syariat dan dikecam dalam hadits-hadits shahih adalah bukan semata-mata tidak ada di masa Nabi ﷺ, tapi ajaran dan amalan baru dalam agama yang bertentangan atau menyelisihi dengan sumber hukum Islam baik Al Qur’an, As Sunnah, ijma’, dan qiyas, Inilah bid’ah sesat dalam hadits: Kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat).
Maka, bukanlah termasuk bid’ah sesuatu yang ada dasarnya atau tidak menyelisihi salah satu sumber hukum, misal ada dasar dalam Al-Quran, atau As Sunnah, atau Ijma’, atau Qiyas, apalagi jika memiliki dasar lebih dari satu sumber hukum syariat Islam.
Sedangkan inovasi perkara duniawi apa pun bentuk dan bidangnya adalah bid’ah secara bahasa saja, bukan pula bid’ah yang dimaksud dalam syariat.
Sebagai contoh ilmu tajwid. Ilmu tajwid bukan bid’ah, walau itu hal yang baru dan tidak ada dasar secara khusus, karena dia sejalan dengan ayat Wa rattilil qur’ana tartiila, bacalah Al Qur’an secara tartil.
Dengan mempelajari tajwidlah seseorang dapat membaca Al Qur’an secara tartil. Perbedaan dalam memahami dan menetapkan kriteria bid’ah inilah yang dapat memunculkan perbedaan dalam menentukan sebuah perkara itu bid’ah atau bukan.
Walau Secara prinsip dasar mereka sama-sama merujuk pada sumber hukum yang sama dan salaf yang sama.
Contohnya adalah sebagai berikut
- Bersedekap ketika i’tidal. Ini dibid’ahkan oleh Syaikh Al Albani, tapi dinyatakan sunnah oleh Syaikh Bin Baaz. Berdzikir dengan biji tasbih. Dinyatakan BAGUS (HASAN) oleh Ibnu Taimiyah, dinyatakan boleh oleh Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Utsaimin, bahkan As Suyuthi mengatakan kaum salaf dan khalaf tidak memakruhkannya. Tapi Syaikh Al Albani, Syaikh Bakr Abu Zaid membid’ahkannya.
- Menghadiahkan bacaan Al Qur’an (Al Fatihah, Yasin) kepada mayit. Syaikh Abdullah Al Bassam mengatakan mayoritas salaf dan Imam Ahmad mengatakan sampai dan bermanfaat. Ini juga pendapat Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah. Syaikh Bin Baaz dan Syaikh Utsaimin pun mengatakan sampai pahalanya. Walau dibid’ahkan sebagian kalangan.
- Berkumpul mendoakan mayit dan bersedekah hari ke 7, 40, dan lain-lain. Dinyatakan sunnah oleh Imam as Suyuthi bahkan beliau menyebutnya ini perbuatan sudah berlangsung lama sejak masa sahabat di Mekkah berdasarkan atsar-atsar shahih, sebagaimana beliau jelaskan dalam kitab Al Hawi Lil Fatawi dan ad Dibaj ‘ala Shahih Muslim. Sementara sebagian kalangan membid’ahkannya bahkan menuduhnya perbuatan Hindu. Dan lain-lain.
Maka dari itu, melihat diskusi ulama tentang bid’ah itu tidak sesederhana yang dibayangkan; dengan mengatakan: pokoknya yang tidak ada di zaman Nabi ﷺ adalah bid’ah.
Lebih baik adalah silakan memegang apa yang diyakini, pelajarilah masing-masing dalil dari tiap pemahaman, lalu jangan saling menuduh satu sama lainnya. Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Thariq. [Cms]
Sumber: Alfahmu.id – Website Resmi Ustaz Farid Nu’man.