ChanelMuslim.com- Hidup berumah tangga itu seperti mengarungi dunia rasa. Seribu satu rasa silih berganti datang dan pergi. Yang penting, jangan ada yang inginnya suka saja, sementara dukanya rasakan sendiri.
Allah menciptakan suami istri itu untuk memperoleh keseimbangan. Litaskunuu ilaiha. Dan begitu pun sebaliknya: litaskunuu ilaihi. Yaitu, lahirnya rasa tenang dari dua pihak: suami dan istri.
Orang menyebutnya sakinah, atau ketenangan. Kalau orang Betawi bilang, anteng! Nyaman, betah, enjoy, dan lainnya. Itulah dasar atau landasan yang diperoleh dari jodoh suami istri.
Setelah itu, Allah anugerahkan yang berikutnya, yaitu mawaddah dan rahmah. Dua kata ini secara bahasa artinya hampir sama: cinta. Mawaddah artinya cinta, begitu pun rahmah.
Mungkin kesamaan ini karena bahasa Indonesia tidak mampu menerjemahkan bahasa yang stratanya lebih tinggi. Jadi, katanya mentok pada makna cinta. Padahal, dua kata yang berbeda ini memiliki arti yang tentu berbeda.
Sebagian ahli bahasa menjelaskan bahwa mawaddah adalah cinta yang didorong oleh daya tarik biologis. Pria suka wanita, dan begitu pun sebaliknya. Ini sudah menjadi fitrah. Justru kalau tidak begitu, menunjukkan ada masalahnya.
Daya tarik ini bersifat umum. Tidak ada kekhususan hanya untuk orang beriman saja. Semua manusia yang pria suka dengan wanita, dan begitu sebaliknya. Karena itu, syariah membatasi ruang gerak interaksi dua jenis ini.
Mulai dari jumlah pandangan, cara memandang, busana yang aman, serta suasana yang patut terjadinya interaksi pria dan wanita. Pria dan wanita tidak boleh berdua-duaan. Kecuali keduanya terikat hubungan mahrom. Selebihnya, sangat bahaya.
Yang kedua selain mawaddah adalah rahmah. Inilah jenis cinta yang bersifat kualitatif. Tidak cuma senang-senangan saja. Tidak sekadar suka-sukaan saja. Melainkan, telah tumbuh ikatan pengorbanan, kesungguhan berbagi, dan saling menihilkan ego dan kepentingan individu demi tercapainya kebahagiaan bersama.
Dan bisa dibilang, hanya mereka yang terikat dalam hubungan pernikahan yang bisa memperoleh rahmah ini. Jika belum, hanya sebatas pada mawaddah saja.
Suka Duka Siapa yang Punya
Sejatinya, pernikahan dimaksudkan untuk keseimbangan selamanya. Cinta yang terus bersemi tanpa batas fluktuasi materi. Sejak di saat muda, hingga datang tua. Walau dalam keadaan kaya, maupun super miskin sekali pun. Di saat ketika bahagia, dan ketika terjebak duka.
Karena itu, tidak boleh ada klaim bahwa hanya suka yang menjadi miliknya. Sementara, tentang dukanya menjadi milik bukan dirinya. Ya siapa lagi, kalau bukan pasangannya.
“Kelainan” ini muncul karena beberapa sebab. Pertama, belum tuntasnya kerelaan saat awal menikah. Bisa datang dari mana saja: bisa dari suami atau istri.
Orang ini menganggap bahwa sejak awal ia memang belum seratus persen mampu menerima. Seolah ada sisi gelap dari pasangannya yang masih menyimpan ragu bagi dirinya. Dan ketika itu muncul di saat tengah perjalanan rumah tangga, keraguan ini kumat lagi.
Ia lupa bahwa ketika sudah terikat dalam mitsaqan ghalizha atau ikatan pernikahan, suka duka itu bukan lagi milik per individu. Melainkan sudah menjadi milik bersama. Walaupun datangnya dari pihak pasangannya.
Karena soal suka duka itu bukan perkara dari mana datangnya, atau siapa mengawalinya. Suka duka itu adalah halte-halte perjalanan bus rumah tangga menuju persinggahan akhir yang pasti akan tiba. Jadi, mau dengan siapa pun ia menikah, pasti akan mengalami hal yang sama.
Kedua, adanya “penyakit” bawaan sejak masih dalam dunia kanak-kanak. Kadang tanpa disadari, pola asuh bisa membentuk karakter seseorang. Ada karakter egois yang menganggap semua masalah itu bukan dari dirinya, tapi dari orang lain.
Ini bisa terbawa hingga dewasa. Bahkan ketika interaksi itu dalam dunia rumah tangga. Bisa datang dari pihak suami, bisa juga istri. Karena karakter ini bukan milik satu jenis kelamin.
Ketiga, kurangnya pemahaman bahwa suka duka itu ujian yang datangnya dari Allah Subhanahu wata’ala. Ujian itu tentu menyimpan seribu satu hikmah. Ada maslahat atau kebaikan di balik sikap sabar menghadapi ujian itu.
Ada maslahat naiknya tingkat kedewasaan. Hal ini penting untuk menghadapi problematika anak-anak yang akan memasuki usia remaja dan dewasa. Tidak mungkin orang tua mampu mengarahkan anak-anaknya menjadi dewasa kalau dirinya pun belum dewasa.
Suka duka rumah tangga itu mungkin bentuk lain dari sensasi aneka rasa seperti pada rujak. Ada pedas, asam, asin, manis, dan lainnya. Hadapi dan nikmati. Karena semua rasa pada akhirnya akan memberikan kesan tersendiri. (Mh)