ChanelMuslim com – Jika ditanya tentang suku asli yang mendiami benua Australia,, kita pasti akan menjawab Aborigin.
Suku Aborigin memiliki perawakan mirip dengan orang-orang di Papua, berkulit hitam dan berambut keriting. Memang suku Aborigin berasal dari orang Papua yang bermigrasi ke benua Australia pada sekitar 40.000 tahun silam.
Lalu pada tahun 1700-an, orang-orang Eropa mendatangi Australia. Mereka melakukan invasi besar-besaran di benua ini. Mengeksplorasi sumber daya alamnya yang membuat suku asli malah semakin terhimpit.
Sebelumnya suku Aborigin hidup dengan nyaman dan damai di tanah Australia. Mendapatkan sandang dan pangan dari keberlimpahan tanah Australia. Lalu Eropa datang. Selain mengeruk sumber daya alam, mereka juga menyebarkan penyakit seperti influenza, cacar dan sipilis yang menyebar dengan cepat.
Kita mungkin tidak tahu bahwa ternyata sejak 300 tahun yang lalu sudah terjadi persentuhan antara suku Aborigin dengan Islam. Mereka melakukan hubungan sosial seperti pernikahan dan perdagangan dengan komunitas muslim.
Nelayan dari Makassar, Sulawesi selatan (sekarang Indonesia) telah melakukan perjalanan ke utara dan barat laut Australia sejak awal 1700-an, mencari siput laut. Para pedagang Makasar yang rata-rata beragama Islam pun mengenalkan Islam pada suku Aborigin Seiring waktu, selain perdagangan, Islam pun ikut tersebar di sana.
Mengapa suku Aborigin bisa menerima Islam dengan tangan terbuka?
Seperti dikutip dari mvslim.com, satu penelitian, yang dilakukan oleh Peta Stephenson, menunjukkan bahwa ada berbagai tradisi dan norma yang serupa antara masyarakat adat setempat dan Islam. Sebagai contoh, sikap dalam Islam terhadap lingkungan, menyerupai sikap suku Aborigin. Al-Qur’an menyatakan bahwa kita tidak boleh menyia-nyiakan apa yang tidak kita butuhkan. Penduduk asli Australia memiliki cara berpikir yang sama, di mana air dan makanan dipandang sebagai sesuatu yang berharga.
Selain itu, orang-orang Aborigin menyatakan bahwa mereka tertarik pada Islam, sebagai cara untuk pulih dari kepedihan psikologis yang mereka alami karena (pasca) kolonialisme. Bagi mereka, misionaris Kristen memaksakan semacam mono-kulturalisme pada mereka. iIu adalah idealisme kaum ‘putih’. Laki-laki Aborigin dipandang sebagai ‘lelaki kulit hitam yang beringas” dan untuk menjadi beradab, seseorang harus masuk Kristen dan beradaptasi dengan norma-norma penjajah kulit putih.
Sementara itu, kata mereka, Islam mengakui bahwa manusia diciptakan dengan ‘berbagai bangsa dan suku’ meski begitu semua manusia adalah sama. Konsep Islam tentang keberagaman dan nilai semua manusia sama di mata Allah, merupakan konsep yang menarik bagi orang-orang yang sedang tertindas dan terjajah di negerinya sendiri. (MAY)