ChanelMuslim.com- Pria dan wanita Allah jadikan berbeda. Berbeda secara fisik, selera, tabiat, dan juga cara berkomunikasi. Bahkan, keduanya bisa memiliki cara yang sangat jauh, seperti dua kutub yang tak gampang ketemu.
Pria Allah anugerahi kecenderungan menggunakan nalar yang lebih besar daripada rasa. Hal inilah yang umumnya menjadikan pria tidak gampang bicara. Ketika ingin bereaksi, nalarnya bekerja secara otomatis.
Kalau prosesnya cepat, reaksi atau respon akan keluar cepat. Tapi jika ada hambatan, mungkin karena persoalan intelektual, pengalaman, dan lainnya; respon akan muncul lamban.
Hal inilah yang biasanya menjadikan pria lebih banyak diam. Nalarnya terus menghitung dari satu variable rangsangan ke variable lainnya. Kalau nggak juga ketemu, diam pun akan diperpanjang untuk waktu yang tidak ditentukan.
Bagi pria, kesalahan ucap bisa berakibat fatal. Contoh, seorang anak minta ayah ibunya untuk diizinkan membeli permen. Biasanya, anak akan memilih izin ke ibu dulu. Kenapa?
Karena anak mendapatkan pengalaman bahwa izin ibu bisa dinaik banding jika tidak mendapat persetujuan. Artinya, kalau ibu nggak ngasih izin, sementara ayah ngasih izin, maka izin dari ayahlah yang paling bisa diandalkan.
Tapi jika ibu ngasih izin, kemudian ayah melarang, maka izin dari ibu bisa dianulir begitu saja tanpa ada penjelasan.
Hal inilah yang membuat anak bisa belajar tentang proses pengambilan keputusan di keluarga. Sang anak biasanya menjadikan keputusan ibu sebagai uji coba, apakah izinnya dibolehkan atau tidak. Sementara izin ayah adalah final.
Dinamika alur komunikasi ini menjadi biasa dan terus bergulir dalam keluarga. Bahwa, ucapan ayah menjadi begitu kuat dan tidak asal keluar begitu saja.
Syariat Islam pun menguatkan hal itu. Dalam hukum cerai, berapa kali pun jika seorang istri bilang cerai, tidak akan berpengaruh secara hukum Islam tentang hubungan suami istri. Tapi, akan berbeda jika itu keluar dari mulut suami.
Allah swt. menguatkan secara fisik tentang kekuatan ucapan pria dalam keluarga. Pria jika berucap mengandung suara yang berat, kuat, dan berwibawa. Rasanya sulit untuk dibantah oleh siapa pun dalam keluarga.
Umumnya pria pun memiliki pendirian yang kuat. Tidak gampang goyah, baik dalam bentuk celaan atau pun godaan. Jika ia bilang putih, akan terus putih. Tidak berubah menjadi abu-abu, apalagi hitam.
Dalam skala umum, Nabi yang mulia mengajarkan tentang cara berucap seperti pria ini. “Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, berkatalah yang baik-baik, atau diam.”
Pertanyaan yang bisa dilontarkan, seperti itukah juga cara wanita bicara? Kalau wanita memiliki cara bicara seperti pria dengan alur dan gaya seperti ini, dunia akan menjadi sangat sepi. Keluarga akan sunyi senyap, tegang, kaku, dan sangat sensitif.
Allah menganugerahkan wanita dengan kecenderungan rasa yang lebih besar daripada nalar. Reaksi muncul bukan sekadar rangsangan nilai respon yang besar, tapi juga karena kecenderungan rasa dan irama. Reaksi terkesan agak remeh temeh, tapi memiliki keindahan suasana yang berbeda.
Inilah mungkin cara komunikasi wanita. Ia tidak perlu secara otomatis menelan dulu dalam rangkaian nalar yang jelimet, tapi memberikan reaksi spontan mengikuti alur rasa yang dibutuhkan.
Jangan heran jika wanita lebih terkesan banyak bicara. Banyak komentar. Gampang menilai, dan sering terbawa arus suasana komunikasi.
Suasana jauh lebih dominan untuk direspon wanita daripada substansi komunikasi. Berbeda dengan pria yang lebih fokus ke substansi daripada bermain-main dengan suasana.
Sekali lagi, ini bukan kelemahan wanita. Justru di sinilah letak keindahan dan keserasian kebutuhan antara pria dan wanita.
Allah swt. menegur orang beriman untuk tidak membicarakan orang lain dalam Alquran. Untuk pria ditegur sekali, tapi untuk wanita ditegur secara khusus dengan menyebut kata kaum wanita.
Ayat yang mulia itu mengucapkan, Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain. Dan janganlah wanita terhadap wanita yang lain.
Padahal, kata kaum sudah mencakup pria dan wanita. Tapi, Allah swt. menekankan sekali lagi secara khusus untuk menyebut kata wanita.
Tentu ini bukan berarti Allah swt. ingin merendahkan posisi wanita di banding pria dalam hal kecenderungan yang kurang baik itu. Tapi, karena Allah swt. Yang Menciptakan lebih tahu dengan kecenderungan yang muncul dari yang Ia ciptakan.
Ia Yang Maha Sayang tidak menginginkan hamba-hambaNya yang wanita terjun bebas dalam mainan kecenderungan itu. Harus ada rem. Dan rem tentu bermaksud baik agar wanita tetap menjadi hamba yang mulia. (Mh/bersambung)