BERDAMAI dengan emosi istri ditulis oleh Djoko P. Abdullah. Umar bin Khathab memangku jabatan Khalifah dengan wasiat Abu Bakar mulai bulan Jumadil Akhir tahun 13 H.
Selama menjabat sebagai Khalifah beberapa prestasi yang mengagumkan dan membanggakan telah dicapai oleh Umar Ibnul Khathab.
Secara singkat prestasi atau capaian (achievements) di antaranya: Perluasan Daerah Islam atau Futuhat, Pengaturan Administrasi dan Keuangan Pemerintah, Menetapkan Sistem Kalenderisasi dalam Islam dengan Kalender Hijriah.
Di balik semua capaian yang dilakukan oleh Umar bin Khathab, ada satu drama keluarga yang kemudian ditulis oleh banyak sejarawan sebagai peristiwa yang tidak kalah mengagumkan.
Dalam buku “The Great of Two Umars” (Kisah Hidup Dua Khalifah Paling Legendaris: Umar ibn al Khathab dan Umar ibn Abdul Aziz).
Syahdan, seorang laki-laki hendak bertamu ke rumah Khalifah Umar untuk mengadukan masalah rumah tangga.
Laki-laki tersebut merasa bahwa istrinya tidak bersikap sopan padanya. Saat tiba di depan rumah Khalifah, laki-laki tersebut mendengar bahwa Umar sedang dimarahi istrinya.
Sesuatu yang membuatnya bingung adalah sikap Umar yang tetap diam saat dimarahi istrinya. Akhirnya, pria tersebut mengurungkan niat mengadukan masalahnya.
Saat hendak keluar rumah, Khalifah Umar melihat lelaki tersebut lalu memanggilnya. Khalifah pun bertanya maksud kedatangannya.
Lalu lelaki tersebut menjawab dengan kepolosannya:
“Aku datang kepadamu hendak mengadukan akhlak buruk istriku terhadapku. Tetapi setelah aku mendengar sikap lancang istrimu kepadamu dan engkau diam saja, aku jadi urung mengadukan persoalanku,” kata pria tersebut.
baca juga: Nasihat Umar bin Khattab
Berdamai dengan Emosi Istri
Umar pun menjawab, “Saudaraku, istriku telah memasak makanan untukku. Dia juga mencuci pakaianku, mengurusi keperluan rumah tangga, dan mengasuh anak-anakku. Maka bila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita mengingatnya, sedang kebaikan-kebaikannya kita lupakan”.
“Apa yang membuat Sang Khalifah yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel?
Mengapa ia hanya mendengarkan, padahal di luar sana, ia selalu tegas kepada siapapun?
Menurut Khalifah Umar, dirinya berdiam diri ketika istrinya marah dan ngomel karena mengingat beberapa hal.
Pertama, kelemahan laki-laki ada di mata. Jika ia tak bisa menundukkan pandangannya, niscaya panah-panah setan berlesatan dari matanya, membidik tubuh-tubuh elok yang ada di sekitar dirinya.
Setiap panah yang tertancap, niscaya akan membuat darah mendesir, bergolak dan akan membangkitkan raksasa dalam diri setiap laki-laki, dan kemudian akan melakukan apapun demi terpuasnya satu hal, yakni syahwat.
Adalah seorang istri yang mampu untuk selalu berada di sisi seorang laki-laki dan menjadi ladang untuk menyemai benihnya sehingga seorang laki-laki akan menuai buahnya di kemudian hari.
Kedua, peran istri sebagai rabbatul bait. Saat suami bekerja hingga terkadang sampai larut malam, berusaha mengumpulkan harta namun terkadang kurang peduli dengan apa yang dikumpulkannya.
Ketika mendapatkan uang, kerap menggunakannya tidak beraturan. Untunglah ada sang istri yang selalu menjaga, memelihara agar harta yang diperoleh dengan keringat, air mata, bahkan darah tak menguap sia-sia.
Karena ada istri yang siap menjadi pemelihara selama 24 jam, tanpa digaji.
Ketiga, peran istri menjaga penampilan suami. Umumnya laki-laki tak bisa menjaga penampilan. Kulit legam tapi berpakaian warna gelap.
Tubuh tambun malah suka baju bermotif besar. Atasan dan bawahan sering tak serasi. Untunglah suami punya penata busana yang setiap pagi menyiapkan pakaiannya, memilihkan apa yang pantas untuknya, menjahitkan sendiri di waktu luang, menisik bila ada yang sobek.
Suami yang tampil menawan adalah wujud ketelatenan istri.
Keempat، istri sebagai pengasuh anak-anak. Suami menyemai benih di ladang istri. Benih tumbuh, mekar. Sembilan bulan istri bersusah payah merawat benih hingga lahir tunas yang menggembirakan.
Tak berhenti sampai di situ. Istri juga merawat tunas agar tumbuh besar. Kokoh dan kuat. Jika ada yang salah dengan pertumbuhan sang tunas, pastilah istri yang disalahkan.
Bila tunas membanggakan, maka yang lebih dulu maju ke depan dan yang bisa membanggakan diri adalah suami.
Baik buruknya sang tunas beberapa tahun ke depan, tak lepas dari sentuhan tangan sang istri. Khalifah Umar bin Khathab paham benar akan hal itu. Wallahu a’lam.[ind]