ChanelMuslim.com – Surat Yasin ayat 40 memberi kita pengetahuan bahwa benda-benda langit, seperti matahari dan bulan itu beredar sesuai garis edarnya. Kita bisa bayangkan bagaimana jadinya apabila semua itu tidak ada yang mengatur.
Sementara itu, ayat 41 menjelaskan terkait tanda kekuasaan Allah yang lainnya.
Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 68, Manusia Tidak Selamanya Kuat
Isi Surat Yasin Ayat 40
لا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلَا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ
“Tidak mungkin matahari menemui bulan, dan tidak mungkin malam mendahului siang. Semuanya mengalir (berenang) di garis edarnya.”
Dilansir dari channel telegram TAFSIR AL-QUR’AN, Allah menetapkan matahari dan bulan memiliki lintasan orbit/garis edarnya sendiri-sendiri.
Keduanya tidak akan pernah bertemu atau bertabrakan, kecuali pada saat terjadinya hari kiamat, matahari dan bulan akan bertemu (dikumpulkan).
Sebagian Ulama Tafsir juga menjelaskan makna, “tidak mungkin matahari menemui bulan” artinya adalah tidak mungkin matahari dan bulan muncul bersamaan di malam hari.
Sementara kalimat, “tidak mungkin malam mendahului siang” artinya adalah tidak mungkin datang malam kecuali telah berakhirnya siang secara sempurna.
Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 72 Tentang Penjinakan Hewan Ternak
Kekuasaan Allah Lainnya
Selain mengatur peredaran benda-benda langit, Allah juga menunjukkan kekuasaannya saat menyelamatkan Nabi Nuh dan pengikutnya dari banjir besar.
وآَيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
“Dan salah satu tanda (Kekuasaan Allah) bagi mereka adalah Kami angkut keturunan (jenis mereka) dalam kapal yang penuh muatan.” (Q.S. Yasin: 41)
Allah telah menyelamatkan keberlangsungan hidup manusia dengan mengangkut Nabi Nuh dan orang-orang yang beriman.
Allahlah yang memerintahkan kepada Nabi Nuh untuk membuat kapal dan kemudian mengangkut manusia serta binatang-binatang dan tumbuh-tumbuhan secara berpasang-pasangan.
Sebagian Ulama Tafsir menjelaskan bahwa makna “dzurriyatahum” adalah leluhur/ nenek moyang mereka.
Namun, hal ini tidaklah dikenal dalam bahasa Arab, menurut Ibnu Athiyyah dalam tafsirnya, Al-Muharror Al-Wajiiz.
Pendapat ini juga diikuti oleh Syaikh Ibn Utsaimin, bahwa maksud dari dzurriyatahum adalah keturunan dari jenis mereka.
Di antara jenis kita sebagai manusia adalah Nabi Adam dan Nabi Nuh.
Allah selamatkan keturunan mereka yang tentunya berakibat terselamatkannya keturunan orang-orang setelahnya.
Akan tetapi, manusia yang sejaman dengan Nabi Nuh hanya keturunan Nabi Nuh saja yang tetap ada hingga saat ini. [Cms]