BELAJAR Bersyukur dari Tadabbur QS. Adh-Dhuha (93). Menurut para ulama, Surat Adh-Dhuha diturunkan di Makkah setelah Surat al-Fajr. Surat ini berisi tentang pribadi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Belajar Bersyukur dari Tadabbur Surat Adh-Dhuha
Oleh: Ustaz Dr. H. Saiful Bahri, M.A.
Kegelisahan dan kesedihan yang dialami beliau sangat wajar, di tengah teror fisik dan psikis yang dilancarkan kuffar Quraisy kepada beliau dan sahabatnya untuk mencegah dan menghalangi berkembangnya dakwah yang beliau bawa.
Allah bahkan bersumpah demi untuk mengatakan bahwa Dia sama sekali takkan pernah meninggalkan nabi-Nya sendirian apalagi memarahinya, seperti yang dituduhkan oleh kaum musyrikin Makkah.
Allah takkan pernah membiarkannya bersedih. Allah menghibur beliau dengan mengingatkan janji-Nya yang pasti akan dipenuhi-Nya kelak.
Menariknya, Allah juga mengingatkan bahwa beliau telah dikaruniai berbagai kenikmatan yang sangat berharga.
Kefakiran, keadaan yatim, kesusahan dan kebingungan yang pernah dialaminya, dikaruniai Allah setelahnya berupa kekayaan, kesuksesan, bahkan diangkat derajatnya di langit dan di bumi.
Semua adalah karunia Allah yang laik untuk disyukuri. Maka Allah memberikan perintah untuk menyukurinya dengan menyayangi anak yatim dan orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan.
Baca Juga: Tadabbur Surat Al-Kahfi Ayat 30
Allah Selalu Menyertai
Hanya untuk menegaskan bahwa Allah takkan pernah meninggalkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga marah terhadapnya, Allah memulai surat ini dengan bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam.
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi” (QS. 93: 1-2)
Apa rahasia Allah memilih dua waktu tersebut? Waktu dhuha adalah permulaan siang. Waktu produktif kebanyakan manusia.
Pada jam-jam inilah manusia memulai aktivitasnya. Ada yang mulai bekerja, ada yang berangkat ke sekolah belajar dan mengajarkan ilmu, ada yang mulai bertanam mencari jalan rizki, ada yang membuka toko, membuka pintu-pintu rahmat Allah.
Dalam sejarahnya, di waktu dhuha inilah Musa as. menundukkan kesombongan Fir’aun dengan mengalahkan tukang-tukang sihirnya,
“Berkata Musa: “waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik”. (QS. Thaha: 59)
Kemudian Allah bersumpah demi waktu malam yang menampakkan ketenangannya. Sunyi dengan kesenyapannya. Itulah tabiat malam.
Dijadikan Allah sebagai waktu beristirahat manusia setelah seharian bekerja dan beraktivitas. Allah jadikan juga waktu untuk berkumpul dengan keluarga.
Allah berikan kesempatan untuk melakukan hal-hal yang dianggap paling privasi. Karena waktu malam jauh lebih tenang dibandingkan waktu lainnya.
Di antara sekian hamba-Nya ada yang merasa bahwa karunia ketenangan malam ini harus disyukuri. Karenanya, ia rela melawan kantuk, bangkit dan segera bersujud serta bersimpuh di hadapan Dzat yang serba maha.
Inilah dua simbol yang pasti akan dialami oleh kebanyakan manusia. Setelah muda banyak beraktivitas, kelak ia akan tua dan harus mengurangi kegiatannya.
Secara psikis juga –biasanya- ketenangan orang tua jauh di atas orang muda. Sebagai sunnah Allah, manusia setelah beraktivitas juga memerlukan waktu dan jeda untuk beristirahat.
Dan makna-makna lain yang tersirat dari sumpah di atas, dan yang terpenting adalah bahwa semua waktu itu pasti berputar dan berganti. Sadar atau tidak waktu terus berputar.
Allahlah yang menjadikannya demikian. Tidak heran jika kemudian Abu Hurairah radhiyallahu anhu mendapat pesan dari Rasul shallallahu alaihi wa sallam untuk tidak meninggalkan Shalat Dhuha (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).
“Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu” (QS. 93: 3)
Ada beberapa versi sebab-sebab diturunkannya ayat ini. Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang paling terkenal adalah tentang tersendatnya turunnya wahyu pada waktu tertentu yang dialami oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Meski terkenal tapi –masih menurut Ibnu Hajar- sangat aneh bila dijadikan sebab turunnya ayat ini.
Adapun riwayat yang sahih, berasal dari Bukhari dan Muslim. Suatu ketika Rasulullah berkeluh kesah dan mengadu kepada Allah.
Selama dua malam beliau sakit dan tidak berdiri/keluar rumah. Datang seorang perempuan kepadanya dan mengatakan,”Wahai Muhammad, mana setanmu. Kurasa dia telah meninggalkanmu” maka diturunkanlah ayat ini.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh Tirmizi, Ahmad, an-Nasa`i, dan pakar hadis lainnya.
Kenikmatan dan Karunia Allah
“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan). Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”. (QS. 93: 4-5)
Sebab turun ayat ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim dengan sanad hasan. Abdullah bin Abbas meriwayatkannya,
”Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dibujuk dengan ditawarkan kepadanya sesuatu yang akan terbuka untuk umatnya, yaitu dunia”.
Jika pada ayat sebelumnya beliau dicemooh karena seolah beliau dibiarkan Allah, ada usaha lain untuk meneror psikis beliau dengan tawaran yang menggiurkan. Yaitu godaan dunia.
Namun, Rasulullah berdakwah tidaklah untuk memperkaya diri atau mencari pengaruh di tengah umatnya. Karena itu Allah meneguhkan pendirian beliau.
Sebagai gantinya, Allah menawarkan sesuatu yang kelak akan membuat Rasul shallallahu alaihi wa sallam puas dan ridho.
Karena kekekalan nikmat akhirat jauh lebih sempurna dengan segala kemegahan isi dunia yang banyak menggiurkan kebanyakan manusia.
Setidaknya, Allah kemudian memerintahkan kepada kekasih-Nya ini untuk mengingat-ingat beberapa nikmat di antara nikmat-Nya yang tak terbilang yang diberikan kepada beliau:
Pertama, “Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?” (QS. 93: 6)
Nabi Muhammad terlahir sebagai anak yatim. Ia bahkan tak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya.
Kemudian belum banyak beliau menikmati kebersamaan dengan ibunya setelah kembali dari Bani Sa’d tempat beliau disusui dan dibesarkan di sana, Aminah, sang ibu dipanggil Allah menyusul ayahnya.
Kakek yang mengasuhnya setelah itu pun dipanggil Allah. Hingga Muhammad kecil diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Siapa yang mengatur peristiwa demi peristiwa itu. Siapa sesungguhnya yang merekayasa semuanya.
Allah lah pada hakikatnya yang mendidik dan mengasuh Nabi Muhammad, meskipun sebabnya melalui ibu, kakek dan paman juga orang-orang lainnya. Siapa pula yang menumbuhkan kecintaan mereka kepada Nabi Muhammad.
Kedua, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk” (QS. 93: 7)
Yang dimaksud “dhall” di sini bukanlah kesesatan seperti tersesatnya orang-orang musyrik dan kafir. Namun, sebagian besar pakar tafsir mengatakan bahwa kebenaran tak bisa semata dicapai akal.
Siapa yang memberi petunjuk jika bukan Allah. Secara spesifik sebagian ahli tafsir berpendapat petunjuk yang dimaksud di sini adalah kenabian dan syariat yang dibawa oleh beliau.
Ketiga, “Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan” (QS. 93: 8)
Allah membebaskan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dari kefakiran dengan memberi kecukupan.
Dari sejak diberi kemampuan mencari nafkah melalui menggembala kambing, kemudian berdagang dan sukses di bidang tersebut, hingga kemudian menikah dengan seorang konglomerawati yang shalihah; Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu anha.
Kemudian Allah berikan rasa cukup dan qanaah dalam hati beliau.
Bersyukur Atas Karunia Allah
Tiga karunia yang diberikan Allah di atas sudah selaiknya disyukuri dengan baik. Oleh karena itu, Allah melanjutkan pesan dan risalah langit-Nya.
Allah juga menganjurkan Rasul-Nya dan diwanti-wanti dengan tiga hal berikut:
Pertama, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang”. (QS. 93: 9)
Berbuat baik dan tidak menzhalimi anak yatim menjadi prioritas dalam menyukuri nikmat Allah.
Terlebih bagi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sangat terasa, bagaimana beliau menjadi anak yatim tapi dicintai dan dimuliakan oleh orang-orang sekelilingnya.
Beliau menunjuk jari tengah dan jari telunjuk beliau. Az-Zajjaj memberikan penakwilan lain, yaitu ini sekaligus larangan untuk menzalimi anak yatim dengan berbagai cara.
Di antaranya memakan harta anak yatim yang diwarisi dari orang tuanya. Maka jangan berlaku zhalim terhadap hartanya, demikian pesan itu.
Kedua, “Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya”. (QS. 93: 10).
Jika ada orang yang meminta maka sebaiknya kita memberinya sesuatu yang membuatnya berbahagia atau setidaknya menghilangkan sedikit bebannya.
Jika seandainya kita belum mampu atau tidak memberinya apapun maka sebaiknya kata-kata yang baiklah yang kita berikan kepadanya.
Allah berfirman dalam ayat lain, “Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun” (QS. 2: 263)
Ketiga, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebut”. (QS. 93: 11)
Azz-Zajaj, Imam al-Qurthuby menafsirkan ayat ini sesuai dengan konteks Rasulullah adalah bersyukur dengan menyampaikan risalah kenabian beliau.
Jika ayat ini diperuntukkan kepada kita, konteksnya lebih luas. Yang dimaksud menyebut-nyebut, berbicara atau berbagi saat kita mendapat nikmat juga luas.
Diawali dengan bertahmid dan bersyukur kepada Allah, kita disunnahkan untuk memberitahu orang-orang yang dekat dan kita cintai.
Jika memungkinkan, percikan nikmat tersebut juga bisa bermanfaat bagi orang lain. Jika nikmat itu adalah harta, bersyukurlah dengan zakat dan shadaqah.
Jika nikmat itu adalah ilmu maka bersyukurlah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Tapi, menyebut- nyebut nikmat secara berlebihan akan mengundang rasa iri dan dengki, maka sebaiknya hal tersebut dilakukan dengan wajar.
Semoga dengan inspirasi surat ini kita bisa memanfaatkan waktu kita untuk kebaikan.
Selanjutnya, kita mampu menjadi hamba yang bersyukur dan bisa menularkan kesyukuran ini kepada orang lain dengan keteladanan dan perkataan yang baik. Amin.[ind]