MENJADI orang-orang pilihan yang dihargai karena prestasi adalah merupakan sebuah kebahagiaan. Sebuah kepuasan psikis. Manusiawi.
Lantas, bagaimana jika orang-orang pilihan tersebut dipilih dan dinobatkan oleh Allah.
“Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing)” (Q.S. Ali Imran: 33)
Rahasia apakah yang membuat mereka terangkat dalam lembaran sejarah sebagai orang-orang pilihan. Adam dan Nuh mewakili dua individu secara personal.
Baca Juga: Ali-Imran 139: Jangan Pesimis, Kamu Pasti Bisa
Ali Imran Ayat 33, The Chosen: Orang-orang Pilihan (Bag.1)
Dan keluarga Ibrahim serta keluarga Imran menjadi sebuah prototipe keluarga teladan.
Pertama: Nabi Adam adalah manusia pertama yang dipilih Allah untuk mengemban misi kekhilafahan (memakmurkan bumi Allah).
Misi tersebut pernah ditawarkan kepada makhluk-makhluk Allah yang lain, langit, bumi dan gunung-gunung.
Akan tetapi mereka menyatakan tidak sanggup memikul amanah yang berat. Maka amanah tersebut dibebankan kepada manusia (lihat QS. 33:72).
Misi ini pun mendapat tanggapan dan konfirmasi dari beberapa pihak. Malaikat menengarai mereka akan membuat bencana di atas bumi. Dan apa yang diprediksikan malaikat tersebut benar.
Akan tetapi tidak semua manusia seperti itu. Dan bukan manusia seperti mereka yang mengemban amanah dari Allah.
Mereka yang laik tersebut tidaklah banyak, karena tanggungan memanggul amanah tidaklah mudah dibebankan kepada siapa saja.
Adam yang dibekali Allah dengan ilmu dan akal diangkat derajatnya. Bahkan para penduduk langit diwajibkan sujud kepadanya.
Sujud takzhim atas titah-Nya, bukan penyembahan atau penghambaan kepada makhluk-Nya. Iblis yang menolak perintah tersebut pun dilaknat Allah, dimurkai, bahkan diusir dari langit.
Kemudian, makar iblis pun dirancang untuk menggelincirkan Adam. Ia menabuh genderang permusuhan abadi terhadap Adam dan kelak anak-cucunya. Karena Adamlah yang menjadi sebab terusirnya Iblis dari langit.
Sebagai buahnya, Adam memang melakukan pelanggaran akibat kelalaian dari bujukan iblis. Tapi kelalaian tersebut dibayar dengan keinsyafan dan penyesalan yang dalam.
“Keduanya berkata: “Ya Tuhan kami, kami Telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.“ (QS. 7:23)
Dan kesadaran, keinsyafan dan ketundukan yang khusyu’ sebagai refleksi perbaikan diri dijadikan Allah sebagai salah satu ciri-ciri orang bertaqwa.
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”(QS. 3:135).
Orang berprestasi bukanlah mereka yang tidak melakukan kesalahan. Namun mereka yang mampu menimpali kesalahan tersebut dengan kebaikan-kebaikan serta usaha perbaikan diri dan tidak putus asa pada rahmat Allah.
Kedua; Adapun Nabi Nuh as. yang sering dijadikan ikon dan simbol keteguhan dan kesabaran. Bagaimana tidak? Beliau berdakwah selama 950 tahun, namun pengikutnya tak lebih dari 50 orang.
Bahkan yang lebih menyakitkan, istri dan anak lelakinya justeru menjadi bagian dari mereka yang menghalangi bahkan memusuhi dakwahnya.
Mundurkah Nabi Nuh dari tugas risalah yang dibebankan Tuhannya? Sejarah merekamnya tidak demikian. Nuh as. tetap mantap melangkah menyampai-kan dakwahnya siang malam, dengan sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, dengan berbagai sarana dan usaha.
Namun, balasan kaumnya justeru menyakitkan. Ancaman fisik, teror mental dan psikis menjadi bagian yang tak terelakkan dari kehidupan Nabi Nuh.
Terlebih ketika turun wahyu pembuatan kapal penyelamat. Nabi Nuh membuatnya di tengah padang pasir. Mereka menertawakan, mengejek dan mengolok-olok bahkan melempari dengan kotoran. Kisah-kisah kesabaran ini ada di berbagai surat dalam al-Qur’an.
Namun secara spesifik ada dalam sebuah surat yang dinamakan Surat Nuh. Kisah kegigihan dakwah beliau bisa dilihat dalam surat ini.
Pun pada saat banjir bandang melanda seluruh permukaan bumi dengan air mata berlinang beliau memanggil anaknya untuk bergabung dengannya.
Namun ia menolaknya sehingga tenggelam ditelan air. Hal ini menunjukkan betapa beliau sangat mengharap dakwahnya diterima keluarganya.
Namun Allah menguji beliau dengan perhelatan psikis yang dahsyat. Lihatlah rekaman dialog beliau dengan anaknya serta perhelatan psikis ini dalam surat Hud ayat 42-46.
Nuh yang teguh dan tidak putus asa pada akhirnya diselamatkan Allah bersama sedikit dari kaumnya dan beberapa pasang binatang yang berada dalam kapalnya.
Kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan saat ini. Saat kita berniat baik namun respon sosial justeru sebaliknya; mencurigai, memusuhi bahkan meneror. Selaiknya Nabi Nuh kita contoh. Tak ada kata mundur. Tak ada kata menyerah.
Beliau hanya mengerahkan segenap usaha kemanusiaan. Dan Allah mengganjarnya, sebagai salah satu nabi pilihannya yang istimewa yang dikenal dengan ulul azmi.
Wallahu A’lam.
Catatan DR. Syaiful Bahri, M.A
[Ln]