BERBICARA tentang kehidupan, maka tidak terlepas pula dari pembicaraan tentang ujian. Ujian adalah sebuah keniscayaan. Maka seharusnya kita tidak kaget ketika berhadapan dengan ujian, karena ini adalah hal yang sudah pasti terjadi. Dalam surah Al-Mulk ayat 1 Allah berfirman:
“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. (QS. 67:1-2)
Ustaz Dr. Syaiful Bahri, M.A mengatakan bahwa melalui ujian tersebut Allah tahu siapa yang terbaik di antara para hamba-Nya. Terbaik dalam mengisi lembar ujian. Karena sepanjang hidup manusia selalu diuji oleh Allah.
Jika, nantinya, hasil tersebut baik, maka kemanfaatan tersebut kembali pada diri masing-masing. Allah sama sekali tidak memerlukan itu. Jika ternyata belum sesuai harapan, pintu maaf-Nya tak pernah tertutup.
Sebagaimana siswa atau mahasiswa menempuh ujian. Selalu ada materi yang diujikan atau diajarkan sebelumnya.
Selalu ada yang mengingatkannya. Selalu ada yang mengajaknya bersiap-siap menempuhnya. Selalu ada yang menemani mereka.
Demikianlah kehidupan ini. Kehidupan yang dilapangkan oleh Dzat pencipta tujuh lapis langit, yang menghiasinya dengan bintang-bintang sekaligus sebagai pelempar para setan, sang penyontek dan pengganggu ujian para manusia.
Baca Juga: Bukti Ujian Keimanan Keluarga Yasir
Al-Mulk Ayat 1, Ujian Adalah Sebuah Keniscayaan
Orang yang gagal dalam ujian tersebut adalah orang yang merugi. Sekali lagi, merugi. Karena ia bukan sekadar gagal. Tapi akan menerima siksaan yang tak terperikan, pedih yang sangat.
Ini bukan sebuah sistem yang kejam, tapi sebuah hari pembalasan. Hari pengumuman. Yang pada hari itu semua manusia menampakkan penyesalan.
Bagi yang berbuat baik ia menyesal mengapa tidak menambahnya. Bagi yang berbuat buruk, akan semakin tampak guratan sesal itu.
Karena ia tahu kesudahan masalahnya. Hari itu takkan ada kebohongan sedikit pun. Karena yang menjadi saksi adalah anggota-anggota tubuh. Dengan titah Sang Pemilik segala kerajaan.
Ketika orang-orang yang gagal tersebut dilempar ke neraka sa’îr, para penjaga neraka itu menanyai mereka. Apakah tak pernah ada, orang yang memberi peringatan selama mereka di dunia?
Mereka pun tak punya pilihan kecuali hanya meng-iya-kan. Guratan sesal sangat nampak. Karena mereka melecehkan para pembawa peringatan tersebut. Bahkan sebagian ada yang ditindas dan disakiti.
Sejenak kita simak pengakuan jujur mereka. “…. Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”. (QS. 67:10)
Mereka adalah orang-orang yang tak mau menggunakan karunia mahal yang diberikan Allah kepada hamba-Nya. Untuk menempuh ujian kehidupan. Untuk menjadi orang-orang pilihan. Untuk menjadi yang terbaik.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”. (QS. 3:190)
Dan akal adalah perangkat kesungguhan manusia dalam menempuh ujian. Karena hanya orang yang bersungguh-sungguh saja yang akan lulus sebagai orang-orang pilihan yang berprestasi.
Derivasi kata a qa la diulang dalam al-Qur’an sebanyak 49 kali. Semuanya berbentuk fi’il mudhâri’ (present/countinuous tense) kecuali satu berbentuk fiil mâdhî (past tense).
Ta’qilûn 24 kali, ya’qilûn 22 kali. ‘Aqala, na’qilu dan ya’qilu; masing-masing sekali.
Ini belum kata-kata derifatif dari fakara yang juga diulang sebanyak 18 kali. Keduanya berarti berpikir.
Menariknya adalah ketika Allah mengulang-ulang afalâ ta’qilûn (Tidakkah kalian berpikir) sebanyak 13 kali. Ini mengindikasikan bahwa agama bukan merupakan sebuah doktrin yang tak bisa diterima akal.
Bahwa aturan-aturan yang diturunkan dari langit sebagai bahan ujian manusia di bumi tidaklah sulit untuk dipahami. Dalam setiap masa, Allah mengutus para rasul-Nya untuk menjelaskannya. Hingga datang penutup para rasul itu, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Setelah itu tugas pemberi peringatan itu diteruskan oleh orang-orang setelahnya, pewaris para nabi. Mereka sebagai pemberi peringatan. Sekaligus sebagai peserta ujian karena mereka pun tak luput dari hari perhitungan.
Agar kelak diketahui, siapa diantara mereka yang hanya berkata tapi tak mengamalkan. Menyeru tapi menyelisihi apa yang dikatakannya kepada manusia.
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. (QS. 61: 2-3)
Kelengkapan manusia dengan dibekali akal tidaklah hanya kebetulan. Allah menjadikannya sebagai perangkat menuntut ilmu.
Dengan ilmu Allah memerintahkan malaikat dan jin bersujud pada Adam ‘alaihi wasallam. Dan jin dilaknat karena enggan melakukan titah itu.
Dengan akal itu Allah menjadikan manusia sebagai khlifah-Nya di bumi untuk memakmurkan isinya, agar bermuara pada ketundukan pada-Nya.
Sebuah amanah yang bumi dan langit serta gunung pun menolaknya. Hanya manusia yang lemah yang berani memikulnya.
Allah mencela mereka yang tak menggunakan akalnya karena sama saja tidak mensyukuri karunia-Nya.
Kembali ke permasalahan ujian, bahwa proses penghargaan untuk yang menjadi terbaik adalah kedua sisi penciptaan Allah.
Hidup dan mati. Semasa hidup manusia mengukir prestasi untuk dinikmatinya setelah ia mati.
Jika hanya kehidupan, maka hasil ujian takkan pernah diumumkan. Sebaliknya, jika hanya ada kematian, maka takkan pernah ada ujian; apalagi penghitungan dari ujian itu. [Ln]
Wallahu A’lam