MENGAPA jodoh itu harus seagama? Ketua Hikari Parenting School Hifizah Nur, S.PSi., M.Ed. menjelaskan mengenai hal mendasar yang wajib kamu ketahui, khususnya buat yang sedang mencari jodoh.
“Muslim itu, kalau menikah harus dengan sesama muslim ya?” ujar Sensei membuka percakapan.
Ini pertemuan yang ketiga di kantornya, sejak saya diterima sebagai murid beliau di lab seikatsuka (Jurusan Pendidikan Lingkungan Hidup) Aichi University of Education.
Saya agak tergagap dengan komentar yang tiba-tiba itu, “Bukankah menikah dengan orang yang pola pikirnya sama, lebih baik, Sensei?” akhirnya saya balik bertanya.
Saya ingin mengucapkan “sistem nilai yang sama”, tapi kata-kata itu tidak keluar di kepala saya.
Sadar bahwa bukan pada tempatnya membicarakan masalah agama, Sensei langsung mengubah topik pembicaraan menjadi hal lain, yang berhubungan dengan rencana studi saya.
Saya tidak bisa menerka apa yang ada di balik komentar itu. Merasa aneh, ataukah sinis.
Bagi orang Jepang yang tidak mementingkan agama, pola pikir seperti ini memang dipandang aneh. Buat mereka, agama itu lebih mirip dengan budaya.
Merayakan tahun baru di jinjya, kuil untuk pemeluk agama Shinto. Menikah di gereja. Prosesi penghormatan kepada orang yang meninggal dengan cara Budha. Semua campur aduk.
“Kenapa harus seagama? Agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Campur tangan Tuhan tidak perlu dalam perkawinan.” Begitu mungkin menurut pandangan mereka.
Baca Juga: Memilih Jodoh dalam Islam
Mengapa Cari Jodoh Harus yang Seagama
Dalam Islam, menikah adalah ibadah. Konsep itu sudah saya pegang sejak masih gadis.
Itu artinya, tatapan mesra, pegangan tangan, ciuman, bahkan perbuatan yang lebih jauh dari itu mendatangkan pahala setelah menikah.
Belum lagi bekerja untuk menafkahi keluarga dan mendidik anak dengan baik, agar menjadi orang-orang sholeh ketika dewasa.
Semua menjadi ibadah dalam bingkai pernikahan yang nilainya besar sekali, mendatangkan kebaikan di dunia dan di akhirat.
Namun, itu masih berupa doktrin yang belum bisa saya pahami secara sempurna sebelum menikah.
Sejak menikah dan tinggal di Jepang, saya banyak berteman dengan muslimah Indonesia yang bersuamikan orang Jepang.
Dari mereka, saya banyak mendengar pahit manis pernikahan beda bangsa.
Tentu sang suami tidak berat mengucapkan syahadat sebagai ikrar masuk ke dalam Islam saat menikah. Namun setelahnya, berat bagi mereka menanggung konsekuensi syahadat itu.
Meskipun ada juga yang secara sungguh-sungguh berusaha menjadi muslim yang baik, namun banyak yang setelah menikah, kembali kepada pola hidup yang sama seperti orang Jepang lainnya.
Tidak terlalu peduli dengan ibadah atau tidak mampu meninggalkan kebiasaan minum-minuman keras.
Persoalan menjadi bertambah ketika anak pertama dan kedua lahir. Pola didik macam apa yang ingin diterapkan? Menurut cara Jepang?
Atau mengajarkan mereka menjadi seorang muslim yang baik?
Bila ingin mendidik anak untuk menjadi muslim yang baik, maka kerja ibu berkali-kali lipat lebih berat. Terutama kalau suami tidak mendukung usaha ini.
Melatih anak untuk membiasakan diri sholat, mengaji atau melatih anak-anak puasa.
Mengajarkan anak untuk berpikir dengan cara yang berbeda dari teman-temannya, misalnya tentang:
hina matsuri: perayaan untuk anak-anak perempuan, dengan memasang boneka untuk mengusir bala dari rumah, agar anak-anak sehat dan dijauhkan dari keburukan.
setsubun: upacara melempar kacang, untuk mengusir oni (raksasa/setan), lambang kejelekan/nasib buruk.
tanabata: perayaan festival bambu. Biasanya orang jepang memasang bambu di rumah, di sekolah atau di kuil. Menulis doa pada selembar kertas, lalu diikat pada bambu tersebut,
dan budaya jepang lainnya.
Kerja berat yang tentu akan lebih ringan bila mendapat dukungan full team dari seluruh anggota keluarga.
Sepuluh tahun menikah juga menyadarkan saya tentang pentingnya keluarga sebagai tim kehidupan. Alhamdulillah, saya mendapat pasangan yang punya visi dan misi pernikahan yang sama.
Tentu saja, keluarga kami masih jauh dari sempurna. Tetapi kami berusaha untuk membangun sebuah keluarga bahagia, tidak hanya di dunia, tapi sampai ke akhirat kelak.
Untuk itu, kami berusaha untuk selalu menjadi muslim yang lebih baik, dari waktu ke waktu, terutama agar keislaman kami bisa menjadi contoh nyata bagi anak-anak kami sendiri.
Di awal-awal sangat berat. Karena kami berasal dari latar belakang yang berbeda dan pola pendidikan yang berbeda.
Namun lambat laun, kesamaan visi dan misi mengalahkan perbedaan-perbedaan tersebut. Kami bisa menjadi tim yang semakin kompak, terutama ketika menghadapi masalah dalam pendidikan anak.
Kisah-kisah hancurnya keluarga dalam Al-Qur’an, karena perbedaan visi hidup bisa menjadi pelajaran kita bersama.
Kisah istri Nabi Nuh dan Nabi Luth, yang mendapat pendamping orang sholeh, namun justru lebih memilih berada dalam kekufuran, akhirnya dibinasakan bersama kaum Nuh dan Sodom yang kafir.
Begitu juga kisah Asiyah, seorang perempuan sholihah, namun menikah dengan Fir’aun, seorang raja tiran di Mesir. Lalu meninggal, setelah disiksa oleh sang suami, karena mempertahankan keimanannya.
Semua menjadi pelajaran tentang pentingnya kesamaan visi hidup dalam keluarga muslim, agar tetap langgeng di dunia sampai ke akhirat kelak.[ind]