YUK, belajar dari sekolah Jepang dari Ketua Hikari Parenting School Hifizah Nur, S.Psi., M.Ed.
Selama sebulan ini, saya diberi kesempatan untuk berkunjung ke dua sekolah, yang sangat perhatian terhadap perkembangan kemampuan anak berpikir (sikou ryoku), menilai (handan ryoku) dan berekspresi (hyougen ryoku). Kedua sekolah itu adalah SD Koromoura dan SD filial (attached school) dari Nara Jyosei Univ.
Baca Juga: Mengenal Pengasuhan Anak di Jepang
Belajar dari Sekolah Jepang
Di SD Koromoura, saya melihat bagaimana anak-anak kelas 2 belajar mata pelajaran bahasa Jepang. Caranya sangat unik, dan perlu ditiru oleh para guru di Indonesia.
Catatan: Pelajaran bahasa Jepang di sini, berfokus pada mendalami bacaan, selain melatih huruf kanji, bukan tata bahasa.
Sebelum pelajaran dimulai, sang guru melakukan semacam ice breaking, dengan cara membuat anak-anak tepuk tangan bergantian, dan kecepatannya dihitung dengan stopwatch.
Anak pertama tepuk tangan, langsung disambung dengan anak sebelahnya, terus begitu, sampai anak terakhir.
Untuk itu, anak-anak harus berkonsentrasi penuh, supaya tepuk tangannya tidak berbarengan atau terlalu lambat. Rekor hari itu harus lebih cepat dari hari sebelumnya.
Setelah bel pergantian pelajaran berbunyi, anak-anak langsung bersiap, dan membuka buku pelajarannya. Saat itu, anak-anak diminta untuk membaca cerita fabel, berjudul ”Kitsune, Sang Tamu”.
Di situ digambarkan seekor kitsune (rubah) yang tadinya ingin memakan tiga ekor anak ayam, tapi karena kebaikan kata-kata dari anak ayam itu, sang rubah tidak jadi memakannya.
Justru malah ingin menolong ketika ketiga anak ayam itu akan dimakan serigala.
Baca Juga: Visi Keluarga Muslim di Jepang
Membaca dengan Ekspresif dan Berdiskusi
Anak-anak membacanya dengan sangat ekspresif. Intonasi suara, dan ekspresi muka, menggambarkan kejadian di dalam bacaan itu.
Bila ada anak yang membacanya dengan tidak ekspresif, guru meminta untuk mengulanginya lagi.
Setelah membaca cerita, ibu Guru menuliskan tema diskusi hari itu. Pada pelajaran sebelumnya, anak-anak sudah diminta untuk menuliskan di buku tulis masing-masing, apa yang dipikirkan tentang tema tersebut.
Lalu, tanpa diberi aba-aba, anak-anak mengubah posisi duduk mereka, dari yang tadinya seluruhnya menghadap guru, menjadi berbentuk persegi, siap untuk posisi diskusi.
Mulailah diskusi mengalir, tanpa sedikitpun Sensei ikut campur mengeluarkan pendapat. Anak-anak saling melontarkan pendapat, Sensei hanya menuliskan pendapat-pendapat itu di papan tulis,
mengkategorikannya dan sesekali merespon pendapat anak, untuk memperdalam atau untuk mendorong anak untuk berbicara dengan tenang.
Yang dibahas adalah, apa yang dipikirkan dan dirasakan sang tokoh, dalam hal ini kitsune itu. Kenapa ia bisa berubah, dari yang tadinya ingin memangsa, lalu justru ingin melindungi.
Dari diskusi, terlontar pendapat anak-anak yang menggambarkan pemahaman mereka terhadap bacaan, dan kesadaran mereka akan moral yang ditanamkan dalam cerita.
Hebat sekali, kelas dua SD sudah memiliki kemampuan seperti ini.
Di akhir diskusi, Sensei meminta anak-anak untuk memperagakan gerak-gerik Kitsune, ketika melompat keluar untuk menghalangi serigala yang siap memangsa tiga ekor anak ayam.
Di sini pun, kembali sang guru memperkuat kemampuan anak untuk membayangkan isi cerita dengan cara melakukan role playing.
Sampai sini, kegiatan di SD Koromoura selesai.[ind]