ChanelMuslim.com – Pengasuhan anak di Jepang sangat berbeda dengan negara lain. Jepang dikenal dengan masyarakatnya yang disiplin dan juga pemerintah yang menjamin kesehatan warganya.
Begitu pula yang dirasakan oleh Anggita Aninditya Prameswari Prabaningrum, seorang WNI yang bermukim di Jepang sejak tahun 2014.
Mengalami masa kehamilan anak pertama di Jepang, membuat Gita, begitu sapaan akrabnya, untuk berhati-hati dalam menjalani setiap tahapan kehamilan.
“Muslim di Jepang minoritas, jadi saya sudah mulai menerapkan parenting bahkan sejak hamil. Misalnya, menjaga makanan halal.
Karena makanan yang dimakan ibu hamil akan mempengaruhi sang janin kelak,” kata Gita dalam Webinar Jelajah Ramadan ChanelMuslim.com, Rabu (21/4/2021).
Dasar pengasuhan anak bagi Gita adalah pada saat ia menyadari bagaimana Allah Subhanahu wa taala menakdirkan ia dan suami untuk bermukim di Jepang.
Dengan memahami visi misi diciptakannya manusia dan untuk berdakwah di mana pun ia berada, Gita mulai mempelajari dan menerapkan parenting Islami.
Baca Juga: Mengenal Pengasuhan Anak di Belanda
Proses Melahirkan
Di Jepang, setiap ibu hamil didampingi sejak proses awal kehamilan. Tak terkecuali bagi penduduk asing.
“Angka melahirkan di Jepang menurun. Orang asing pun dikasih fasilitas yang sama. Setiap ibu hamil dapat 14 voucher untuk pemeriksaan kehamilan,
dan saat melahirkan juga dapat bantuan sekitar 300 yen. Kalau biaya melahirkannya kurang dari itu, kita bisa dapat tunainya,” ujar Gita yang juga pemilik bisnis Japan Muslim Info itu.
Ibu hamil juga diberikan gantungan kunci khusus yang bisa disematkan di tas saat bepergian sehingga membangun kesadaran masyarakat untuk mendahulukan ibu hamil,
misalnya saat berada di dalam transportasi umum seperti kereta.
Fasilitas kesehatan yang bisa diakses untuk ibu hamil di Jepang adalah yang terdekat dari rumah.
Biasanya, pasien harus menginap selama 5 hari setelah melahirkan dan boleh didampingi oleh suami atau keluarga dekat.
Namun, pada masa pandemi, ibu yang melahirkan tidak boleh ditemani, bahkan oleh suami sekalipun.
“Saya melahirkan tahun lalu, sendirian. Jadi setelah melahirkan, saya telepon suami untuk datang dan mengazankan ke anak, itu diperbolehkan tapi enggak lebih dari 5 menit,” jelas Gita.
Di Jepang, ibu hamil juga diberikan buku khusus untuk mencatat riwayat kesehatan ibu dan bayi. Begitu pula imunisasi anak juga diberikan secara gratis.
Gita juga memberikan referensi situs berisi buku kesehatan untuk ibu hamil di Jepang.
Di dalamnya tertulis dalam bahasa Jepang dan Indonesia, jadi bagi para WNI yang belum lancar berbahasa Jepang juga dapat memahaminya.
Baca Juga: Toxic Positivity dalam Pengasuhan Anak
Pengasuhan Anak di Jepang
Sebagai muslimah berhijab, Gita sering ditanya oleh warga Jepang, “Apakah tidak panas memakai hijab pada saat musim panas seperti ini?”
Pertanyaan seperti itu sudah sering dialami oleh Gita dan biasanya ia kemudian menjelaskan mengapa ia memakai hijab sebagai identitas seorang muslim
dan juga nyaman mengenakannya dalam musim apapun.
Konsep seorang muslim yang baik ia coba ajarkan kepada anak-anaknya. Meskipun sang anak, Alesha Sachiko, masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak,
Gita menanamkan keberanian kepada anaknya untuk mengatakan kepada teman dan Sensei-nya kalau ia tidak bisa makan butaniku atau daging babi.
Sebelumnya, pada saat pendaftaran sekolah, saat mengetahui Gita dan keluarga adalah seorang muslim, pihak sekolah bertanya mengenai apa saja yang bisa dimakan
dan mana yang tidak bisa dimakan, dan hal lain yang terkait aturan dalam agama Islam, dan juga kesehatan anak, seperti alergi.
“Saya berusaha membuka jalan dakwah, misalnya di sekolah anak. Saya sampaikan, anak kami tidak bisa makan kecuali ada label halal,
makan ikan juga dengan syarat digoreng atau dimasaknya tidak menggunakan mirin atau alkohol atau bekas memasak babi,” tambah Gita sembari memangku anak keduanya, Keita.
Menghindari Kegiatan yang Berbau Kesyirikan
Di sekolah Jepang, biasanya ada kyosoku atau makan siang bersama. Untuk lebih aman, Gita selalu membawakan bento atau bekal makan siang untuk sang anak.
“Saya bilang ke Alesha, jangan minder bawa bento. Saya juga titip pesan ke Sensei agar tidak dibedakan dengan yang lain,” ujar Gita.
Begitu juga dengan acara dan kegiatan di sekolah. Jika mengandung kesyirikan atau berpotensi menggoyahkan keimanan dan membuat bingung anak,
Gita memilih untuk tidak mengikuti acara tersebut dan menjelaskan ke pihak sekolah.
“Memang saat pemilihan sekolah, kami pilih sekolah yang open minded terhadap orang asing dan budaya asing.
Misalnya, ada kegiatan yang lekat dengan budaya Jepang seperti melempar setan waktu tahun baru, nah kami enggak ikutan. Begitu juga saat perayaan Natal,” tegas Gita.
Bagi Gita, support system itu penting dalam pengasuhan anak. Tidak hanya keluarga inti, orang tua dan saudara, juga komunitas muslim yang ada di sini.
“Kalau mau anak menjadi anak yang sholeh dan sholehah, orang tua harus sholeh dan sholehah dulu, dan selalu berdoa agar Allah memberikan perlindungan,
begitu juga minta doa kepada orang tua, dan mertua,” sambungnya.
Kedekatan Anak dengan Ayahnya
Adalah hal yang biasa di Jepang, bagi seorang suami untuk membawa anak-anaknya ke taman pada saat akhir pekan.
Para suami juga berbelanja kebutuhan rumah tangga dan para istri bisa me time sejenak.
Kerja sama suami istri di Jepang, menurut Gita, sangat harmonis.
“Bapak-bapak enggak malu bawa anak-anak ke taman, pulangnya juga bawa belanjaan. Jadi Ibu bisa me time,” katanya.
Kebanyakan para istri di Jepang yang mempunyai balita, biasanya tidak bekerja, atau menjadi ibu penuh waktu. Fokus mengurus anak dan suami di rumah.
“Kalau ibu-ibu yang anaknya masih kecil, biasanya mereka fokus ke rumah tangga. Memang ada yang bekerja, tapi kebanyakan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga,” tambahnya.
Baca Juga: Kisah Muhammad dalam Pengasuhan Kakek Abdul Muthalib dan Wafatnya Aminah
Sistem Pendidikan di Jepang
Pendidikan di Jepang dimulai sejak anak berusia 3 tahun. Pada usia tersebut, sang anak dapat memasuki TK hingga berusia 5 tahun.
Ada pula daycare di Jepang yang diutamakan untuk orang tua yang bekerja full time.
TK di Jepang gratis, anak-anak tidak diajarkan membaca dan menulis, tapi Sensei membacakan buku.
Pada tahapan ini, anak-anak juga sudah dilatih untuk bertanggung jawab atas barangnya masing-masing.
“Untuk yang belum bisa baca, biasanya para ortu menyiasati dengan menempelkan stiker bergambar tertentu
sehingga anak dapat mengenali barang-barangnya dan tidak tertukar,” jelas istri dari Miftakhul Huda itu.
Orang Jepang sangat konsen di tatakrama, sopan santun, dan tanggung jawab dalam kegiatannya sehari-hari.
“Setiap hari, mereka melakukan aktivitas yang sama dan teratur, mulai dari bangun tidur, gosok gigi di wastafel, ganti baju untuk persiapan sekolah.
Mereka biasanya enggak mandi pagi, tapi mandi malam atau ofuro,” kata Gita.
Sejak TK, anak-anak diajarkan untuk membuang sampah di tempat sampah. Dari umur 3 tahun anak sudah lepas popok, setiap datang ke sekolah,
anak wajib ke toilet untuk buang air dan ada jam khusus untuk ke toilet. Mereka memakai dan juga melepas sepatu sendiri di sekolah.
Tak lupa, Gita juga membagikan link situs mengenai rekomendasi sekolah-sekolah di Jepang dari mulai tingkat TK hingga perguruan tinggi.
Baca Juga: 16 Tanda Pengasuhan Orangtua yang Buruk
Menanamkan Tauhid di Negeri Minoritas Muslim
Gita selalu mengaitkan segala aspek pendidikan di Jepang dengan ajaran Islam, ia juga selalu mendoakan anak-anaknya agar diberi perlindungan dan hidayah.
Menjalani praktik keagamaan, bagi Gita, harus dilatih sejak kecil.
“Misalnya, melatih anak puasa, setengah hari dulu. Meskipun ada Sensei yang tanya, ‘Kamu enggak apa-apa puasa? Enggak mati?’” kata Gita.
Gita juga melatih anaknya untuk mengenakan jilbab dengan warna yang tidak mencolok.
“Sejak masuk SD, semua anak memang tidak ada yang boleh terlihat berbeda atau mencolok dari teman-temannya.
Jepang kan budaya monoculture di mana kepentingan umum jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi.
Makanya, tas dan sepatu semua sama, begitu juga yang lainnya,” jelas Gita yang kini menetap di Nagoya.
Cara Menghindari Bullying
Mengenai tingginya tingkat bullying di Jepang di kalangan anak-anak yang bahkan menyebabkan kasus bunuh diri, Gita merasa miris.
“Itu fenomena sisi lain Jepang ya. Saya coba ajarkan anak-anak untuk dekat dengan Allah, mengadu ke Allah sehingga dia enggak merasa sendiri,” tambah Gita.
Pemilihan sekolah tingkat SD di Jepang, biasanya dipilih sekolah yang terdekat dari rumah, sehingga anak-anak cukup berjalan kaki ke sekolah.
“Ada Komite ortu yang bergantian menjadi Volunteer mendampingi anak-anak saat berangkat dan pulang sekolah.
Menjaga anak-anak, jalan sambil bawa bendera, jadi tidak khawatir ada penculikan anak atau lain-lain,” ujar Gita.
Ia juga merasa senang dapat berperan aktif di sekolah karena merupakan bagian dari dakwahnya.
“Kalau bisa, karena warga asing, harus aktif di sekolah, inisiatif membantu acara sekolah, selain jadi syiar dakwah, juga meminimalisasi anak di-bully di sekolah,” katanya.
Sebagai penutup, Gita menuturkan budaya Jepang yang sangat terbuka dengan ajaran semua agama.
Menurutnya, sangat penting bagi orang tua muslim untuk menjelaskan kepada anak agar tidak mengikuti ajaran agama lain.
“Menurut saya, pentingnya orang tua memiliki visi misi keluarga, bersama-sama memperdalam agama, mengkaji Al-Qur’an,
mengetahui standar yang baik dan buruk, dan yang terpenting juga menanamkan kebanggaan kepada anak
sebagai seorang muslim sehingga anak melatih keberaniannya sejak dini,” tutupnya.[ind]