BELAJAR shalat sepanjang hayat. Ini ajaran para ustaz, mubaligh, da’i, dan guru-guru kita lainnya. Mungkin mereka berbeda-beda dalam tinggi-rendah ilmu.
Namun, mereka sepakat: ambillah hadis yang berasal dari sumbernya, yaitu Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam (salawat dan salam atas beliau).
Hadis riwayat Ibnu Majah, “Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” Beberapa mubaligh juga mengingatkan, “Ibadah itu mengandaikan adanya ilmu. Tertolaklah ibadah yang tidak didasari ilmu.”
Para fuqoha (ahli fiqh, hukum Islam) merumuskan bahwa untuk ibadah maghdah seperti shalat, zakat, haji berlaku dalil, “Semua terlarang kecuali bila ada nash (rujukan hukum) yang membolehkannya.”
Sebaliknya, untuk ibadah muamalah yaitu yang menyangkut hubungan antarmanusia berlaku, “Semua boleh kecuali bila ada nash yang melarangnya.”
Nah, para fuqoha juga mengingatkan, pahala shalat berjamaah itu 27 kali lebih besar ketimbang shalat sendirian.
Sayangnya, di banyak masjid atau musola, ada saja oknum (dari bahasa Arab uqnum = individu, perseorangan) yang tidak melakukan shalat berjamaah sesuai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Padahal, Rasulullah adalah contoh terbaik bagaimana syariat itu dilaksanakan.
Lalu, jangan pernah merasa tahu karena telah sejak kecil menjalankan shalat sehingga tidak perlu lagi belajar shalat.
Ukuran ilmu bukanlah panjangnya usia melainkan ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang mengajarkan,
“Shalatlah sebagaimana aku shalat”; bukan “shalatlah sebagaimana guru-gurumu (ustaz, kiai) shalat”.
Kriteria yang paling berhak menjadi imam pertama-tama adalah paling banyak hafal Quran.
Jadi, jika sekumpulan orang hendak menyelenggarakan shalat berjamaah sementara yang paling banyak hafal Quran adalah seorang anak berusia 14 (yang lainnya bapak-bapak di atas 40 tapi hafalannya amat minim), anak itu lebih berhak jadi imam.
Baca Juga: Salah Bacaan Shalat
Belajar Shalat Sepanjang Hayat
Pelajari terus perbendaharaan hadis Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Pesan yang akan kita tangkap adalah, di masjid tak pernah ada dua imam dalam shalat berjamaah.
Artinya, kita dilarang membuat jemaah baru jika masih ada jemaah yang tengah salat berjamaah. Gabung bersama jemaah tersebut, atau tunggu sampai mereka menyelesaikan shalat, baru bikin jemaah baru.
Kita berhak untuk tidak bermakmum kepada seseorang. Tapi, kita tetap perlu menunggu selesainya suatu prosesi shalat berjamaah sebelum membuat jemaah baru dengan imam yang dikehendaki.
Menjadi makmum pun perlu ada ilmunya, bukan cuma ikut-ikutan saja. Makmum bergerak hanya jika imam selesai mengucapkan isyarat.
Gerakan makmum tidak boleh bersamaan atau –apalagi– mendahului gerakan imam. Makmum dilarang menzahar (mengeraskan suara).
Mengenai shalat berjamaah di masjid, memang ada anjuran yang kuat bahwa sebaik-baik shalat (fardu) seorang laki-laki adalah berjamaah di masjid, sedangkan sebaik-baik shalat seorang perempuan (fardu maupun sunnah) adalah di rumah.
Namun, tak ada larangan buat perempuan salat di masjid, bahkan pada hari raya idulfitri dan iduladha mereka semua dianjurkan mendatangi berlangsungnya prosesi shalat id yang hukumnya sunnah muakad di luar rumah; terutama untuk mendengarkan khutbah.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Jangan lupa, rumah juga musti sering dijadikan tempat shalat, atau hunian itu menjadi suram seperti kuburan karena tidak diterangi cahaya ayat-ayat Allah. Allah dan rasul-Nya lebih patut ditaati.
Sahabat, teruslah belajar tentang shalat sepanjang hayat, agar hidup penuh berkah, jauh dari riya. Karena sejatinya, diri ini penuh khilaf, tempatnya lupa dan salah. Semoga bermanfaat.[ind]
Penulis: ap