WANITA juga piawai menjadi aktivis dakwah. Meskipun di zamannya, ia banyak ‘terkurung’ di rumah.
Ada sosok fenomenal aktivis muslimah di tanah air. Warisan aktivitasnya hingga kini masih berjaya. Beliau adalah Siti Walidah, biasa dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan.
Siti Walidah merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya merupakan kiyai penghulu di Keraton Yogyakarta yang juga menekuni bisnis batik.
Di usia 17 tahun, Siti Walidah menikah dengan Muhammad Darwis, atau KH Ahmad Dahlan. Pernikahan itu berlangsung di tahun 1889. Keduanya masih keluarga dekat: saudara sepupu.
Meski tidak menempuh sekolah formal, Siti Walidah begitu aktif belajar dan mengajar Al-Qur’an. Ia mengadakan dua kelompok pengajian kaum wanita saat itu. Ada pengajian Wal Ashri dan pengajian Magribi.
Pengajian Wal Ashri dilakukan untuk para remaja putri pada waktu selepas shalat Ashar. Dan, pengajian Magribi merupakan kelompok pengajian buruh batik yang dilakukan selepas bubaran kerja.
Kelompok pengajian ini tidak hanya aktif dalam suasana mengaji atau semacam majelis taklim. Melainkan juga aktif membantu dan membimbing kaum dhuafa Kauman, Yogyakarta.
Kelompok pengajian inilah yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya organisasi Aisyiyah pada tahun 1917. Kiprahnya sama, tapi cakupan gerakannya jauh lebih luas melampaui wilayah berdirinya.
Nyai Dahlan dan suami memang dikenal begitu aktif membimbing muslimah untuk aktif belajar, mengajar, berkiprah, bahkan bekerja layaknya kaum pria saat itu.
Saat itu, KH Ahmad Dahlan bahkan mengajarkan para wanita belajar bersepeda. Tampaknya sebuah kegiatan yang sederhana untuk saat ini, tapi merupakan hal luar biasa di zaman itu.
Keduanya memang pasangan aktivis yang begitu kompak menggerakkan sumber daya manusia umat Islam, termasuk kaum wanita.
Satu hal yang menarik dari pendirian Aisyiyah. Saat diresmikan sebagai salah satu ‘sayap’ gerakan Muhammadiyah, Aisyiyah tidak dipimpin oleh pendirinya: Siti Walidah. Melainkan, dipimpin oleh sosok aktivis muslimah Muhammadiyah lain.
Boleh jadi, hal ini menunjukkan bahwa KH Ahmad Dahlan dan Siti Walidah memang tidak menginginkan kesan nepotisme dalam organisasi. Keduanya menginginkan berdirinya sebuah organisasi Islam besar yang profesional.
Di tahun 1923, atau 44 tahun usia pernikahan keduanya; KH Ahmad Dahlan meninggal dunia.
Ada hal yang sangat menarik sebelum wafatnya. KH Ahmad Dahlan mengumpulkan seluruh keluarganya. Ia berpesan, “Aku titipkan Muhammadiyah kepada kalian. Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari penghidupan di Muhammadiyah.”
Pernah suatu kali, Siti Walidah jatuh sakit. Ia dirawat di sebuah rumah sakit Muhammadiyah. Ketika proses pengobatan usai, pihak rumah sakit mengabarkan telah menggratiskan seluruh biaya perawatan dan pengobatan.
Namun, tawaran ini ditolak Siti Walidah. Ia berusaha melunasi biaya itu. Tapi ternyata, biaya pengobatannya lebih besar dari uang yang ia punya.
Setibanya di rumah, Siti Walidah meminta keluarganya untuk menjual lemari yang mereka miliki. Uangnya digunakan untuk melunasi sisa pembayaran rumah sakit.
**
Islam menjunjung tinggi kemuliaan perempuan, begitu juga dengan kiprah mereka. Mulai dari dakwah, pendidikan, tenaga profesional, hingga pertahanan.
Dukung kiprah mereka. Karena boleh jadi, tak semua sisi selalu diisi oleh laki-laki. [Mh]