TIGA hal penghancur kehidupan dalam hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dijelaskan oleh Djoko P. Abdullah berikut ini.
فَأَمَّا الْمُهْلِكَاتُ: فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ
“Ada tiga hal yang menghancurkan kehidupan manusia, yaitu kekikiran yang dipatuhi, hawa nafsu yang diperturutkan, dan ‘ujub (kagum) seseorang terhadap dirinya.”
(HR. Ahmad. Hadis ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Bani)
Pertama, kekikiran atau kebakhilan yang dipatuhi
Manusia adalah makhluk ijtima’i, makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak boleh tidak harus secara bersama-sama, saling membantu, saling menolong.
Tanpa kerja sama, manusia mustahil dapat menjalani kehidupan secara baik. Di sini jelas betapa pentingnya jiwa sosial dan rasa hidup kebersamaan.
Sebaliknya, sikap kikir dan hidup nafsi-nafsi, hanya mementingkan diri dan mau menang sendiri, adalah bahaya laten bagi kehidupan manusia.
Karena itu, Allah Subhanahu wa taala mengingatkan:
“Barangsiapa yang dijaga dari kekikiran dirinya maka dia adalah orang-orang yang memperoleh kejayaan.” (Al Hasyr : 9)
Sebaliknya, betapa beruntungnya orang yang memiliki kecenderungan untuk selalu menyedekahkan sebagian rizkinya.
Orang yang bersedekah dan berinfak di pagi hari akan didoakan oleh dua malaikat, sebagaimana disebutkan dalam hadis bahwa setiap pagi dua malaikat turun, yang satu berdoa:
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا
“Ya Allah, berikan ganti bagi orang yang berinfaq di pagi ini”
baca juga: Syiar Akhir Kehidupan
Tiga Hal Penghancur Kehidupan dalam Hadis Rasulullah
Sementara satu lagi berdoa:
اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
“Ya Allah binasakan harta orang yang menahan hartanya di pagi ini.”
Sejarah pun telah banyak menunjukkan buktinya, betapa bahayanya kekikiran, yang awalnya bersumber dari terlalu cinta harta dan dunia.
Sikap bakhil pada dasarnya adalah sikap hidup yang diperbudak oleh harta dan kesenangan dunia. Akibatnya manusia pun menjadi serakah, tidak kenal puas.
Kedua, hawa nafsu yang diperturutkan
Hawa nafsu yang tidak kenal puas ini, juga merupakan bahaya bagi kehidupan manusia. Bahkan hawa nafsu adalah sumber kesesatan yang dahsyat, bila manusia senantiasa memperturutkannya.
Karena itu, Allah Subhanahu wa taala mengingatkan dengan amat lugas:
فَإِن لَّمْ يَسْتَجِيبُوا۟ لَكَ فَٱعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُونَ أَهْوَآءَهُمْ ۚ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ
“Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu) ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka).
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Al Qashash: 50)
Nafsu kemegahan, kekuasaan, harta, dan gila sanjungan, semua itu adalah racun yang membunuh kehidupan.
Penyebab manusia jadi buta hati dan lupa daratan. Akibatnya tentu akan merajalela berbagai kezhaliman dan kejahatan.
Ketiga, keta’ajuban (kekaguman) seseorang terhadap dirinya
لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ
“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub! Ujub!”
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Ustaimin Rahimahullah mengatakan, “Ujub itu bisa menggugurkan atau menghapus pahala amalan seorang hamba.”
Rasa kagum atau ta’ajub atas berbagai kelebihan yang ada pada dirinya, memang menyebabkan manusia menjadi lupa diri. Seolah-olah dirinya yang paling hebat.
Mungkin ilmu, kekuasaan, harta dan kekayaannya. Sikap ta’ajub kepada diri sendiri akan menumbuhkan sikap arogansi, menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Tidak menutup kemungkinan sampai kepada puncak gangguan kejiwaan yang bernama superiority complex.
Yaitu sebuah gangguan dalam jiwa seseorang yang dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mencapai kesempurnaan di dalam setiap aspek kehidupan orang tersebut.
Inilah resep Imam Ghazali agar seseorang terhindar dari ujub.
Pertama, jangan meremehkan yang lebih muda. Boleh jadi yang lebih muda lebih sedikit bermaksiat, sehingga lebih baik dari orang tua.
Kedua, jangan menyepelekan yang lebih tua. Anggaplah orang tua lebih banyak beribadah dari yang muda sehingga lebih banyak amalnya.
Ketiga, bila ada orang berilmu anggaplah orang tersebut menerima anugerah yang tidak kita peroleh, sudah menjangkau apa yang belum kita capai, lebih tahu apa yang belum kita ketahui.
Keempat, bila melihat orang lain bodoh, boleh jadi kalau pun dia bermaksiat, orang bodoh bermaksiat atas kebodohannya, sementara diri kita bermaksiat dengan ilmu.
Kelima, bila orang lain melakukan dosa besar atau maksiat, bisa jadi orang tersebut bertaubat dan saat meninggal mendapatkan husnul khatimah.
Sebaliknya, bisa jadi, Allah sesatkan diri kita dan di.ujung kehidupan lalu menutup usia kita dengan su’ul khatimah. Naudzubillah.[ind]