TEGURAN bisa datang dari siapa saja. Di balik teguran, ada ujian hati: sehatkah hati kita.
Tidak semua orang bersyukur jika ditegur. Karena teguran mengandung dua hal yang sama-sama tidak enak. Orang ditegur karena lalai atau lupa. Orang juga ditegur karena salah.
Baik karena lalai atau pun salah, dua-duanya menunjukkan kekurangan seseorang. Dan alamiah orang yang merasa direndahkan akan merasa tersinggung.
Inilah kenapa teguran menjadi tidak efektif. Orang yang ditegur bukan menyimak isi teguran. Tapi justru terbawa emosi karena siapa yang menegur.
Kalau yang menegur pihak yang ‘di atas’ seperti orang tua, guru, atau atasan; biasanya dimaknai sebagai hal lumrah. Wajar mereka-mereka mengur karena mereka memang lebih tahu.
Tapi jika yang menegur pihak yang ‘di bawah’, di sinilah ujian hati sedang dimainkan. Kalau hatinya bersih, yang ditegur tidak memperhatikan pihak yang menegur. Tapi lebih memperhatikan isi tegurannya.
Berbeda jika yang ditegur hatinya tidak sehat, maka emosi menghanyutkannya pada sisi lain yang tidak substantif.
Teladan kita semua, Baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah beberapa kali ditegur sahabat. Bayangkan, seorang Nabi ditegur oleh manusia biasa.
Suatu kali menjelang Perang Khandaq, Nabi memutuskan untuk menghadang musuh di dalam Madinah. Seorang sahabat Nabi menegur.
“Ya Rasulullah, apakah keputusan ini wahyu atau pemikiran Anda sendiri?” tanya sahabat Nabi.
“Ini pemikiran aku sendiri,” jawab Nabi.
Sahabat tersebut menjelaskan kalau menghadang musuh di dalam kota, maka jika kalah, musuh akan bisa langsung menawan atau menyakiti wanita dan anak-anak yang tidak ikut perang.
Tapi jika menghadang di luar kota, maka ada peluang untuk konsolidasi di dalam kota jika musuh berhasil memukul mundur. Dan usulan ini langsung disetujui Nabi. Dari situ pula, seorang sahabat menyebut ide pertahanan kota dengan membuat parit.
Yang lebih dramatis lagi adalah teguran dari seorang sahabat ketika Nabi lupa jumlah rakaat saat shalat Ashar. Baru dua rakaat, Nabi langsung mengucapkan salam.
Sebagian sahabat bahkan ada yang keluar masjid karena shalat sudah usai. Tapi, mereka masih ragu: kenapa shalatnya diqashar jadi dua rakaat?
Tak seorang pun yang berani menegur Nabi. Meski di situ ada Abu Bakar, Umar, dan lainnya, radhiyallahu ‘anhum.
Seorang sahabat Nabi yang tidak terkenal, tiba-tiba bersuara, “Ya Rasulullah, apakah shalatnya diqashar atau Anda lupa?”
Bayangkan, ada seorang sahabat yang tergolong biasa saja, menegur shalat Nabi dengan kemungkinan diqashar atau karena Nabi lupa. Nabi lupa jumlah rakaat shalat?
Nabi menjawab, “Shalat tidak diqashar, dan aku tidak lupa.” Tapi, sahabat itu menegaskan lagi, “Tidak ya Rasulullah, Anda lupa.”
Tak ada satu pun jamaah masjid yang merupakan para sahabat mulia yang berani bersuara. Mereka hanya mampu menyaksikan percakapan tadi.
Mendapati keyakinan sahabat tadi dan diamnya para sahabat yang lain, maka Nabi langsung menambahkan dua rakaat yang terlupa. Setelah itu Nabi dan jamaah shalat melakukan sujud sahwi.
Peristiwa ini tercantum dalam hadis sahih yang di antaranya diriwayatkan Imam Muslim. Sebuah pelajaran luar biasa tentang fikih dan tentang kebesaran hati seorang pemimpin.
Coba jika hal itu terjadi pada kita. Ada anak kita, adik kita, pegawai kita, junior kita, atau siapa pun yang berada dalam ‘bawahan’ kita, menegur kita karena kemungkinan kita lalai atau salah.
Pertanyaannya, apakah kita mampu melihat hanya pada isi teguran dan bukan pada siapa yang menegur?
Inilah ujian hati. Sehatkah hati kita? Atau jangan-jangan, ada penyakitnya sehingga isi teguran tertutup emosi. [Mh]