HATI itu selalu berbolak-balik. Ada yang baik menjadi buruk, ada pula yang semula buruk berubah baik.
Di abad kedua hijriyah, ada sosok penyair yang namanya terkenal hingga saat ini. Orang itu adalah Abu Nawas. Ia lahir di Ahvaz, wilayah Iran saat ini, dan wafat di Bagdad di usia sekitar 58 tahun.
Ingin mencari penghidupan yang lebih baik, Abu Nawas yang yatim hijrah ke Bagdad, pusat kekhalifahan Abbasiyah saat itu. Di sana, ia belajar ilmu agama dan sastra. Saat itu, Bagdad memang sebagai berkumpulnya banyak tokoh cendekia.
Ternyata, Abu Nawas lebih gandrung dengan sastra dari ilmu lain. Sayangnya, di balik ketenaran karya sastranya saat itu, ia juga terjebak dalam pergaulan buruk. Tak heran jika sebagian karyanya berisikan syair-syair mesum, mabuk, dan hal buruk lain.
Hingga kini, salinan karya-karya sastra Abu Nawas dikabarkan masih disimpan baik di museum di Inggris.
Sezaman dengan Abu Nawas, hidup tokoh ulama yang begitu terkenal. Beliau adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, atau biasa dikenal dengan Imam Syafi’i rahimahullah.
Tahun kelahiran antara Abu Nawas dan Imam Syafi’i hanya terpaut sekitar 16 tahun, lebih tua Abu Nawas. Keduanya juga tinggal di wilayah yang sama: di Bagdad.
Imam Syafi’i memang hidup berpindah-pindah dalam rangka mencari ilmu dan mengajarkannya. Beliau lahir di Palestina, hijrah ke Mekah, hijrah lagi ke Madinah, hijrah lagi ke Bagdad, hijrah ke Yaman, dan terakhir di Mesir.
Ketika tinggal di Bagdad, Imam Syafi’i mengenal Abu Nawas sebagai sosok yang negatif. Dan memang seperti itulah perilaku Abu Nawas. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah karya sastranya.
Bahkan suatu kali, Abu Nawas menulis sastra yang sangat menghina Allah. Ia sebutkan bahwa Allah menyebut orang yang shalat dengan kata ‘celaka’. Tapi, tidak pernah menyebut orang yang mabuk-mabukan dengan kata yang sama.
Hal ini membuat umat Islam saat itu begitu marah. Termasuk juga Khalifah Harun Al-Rasyid. Hampir saja khalifah benar-benar memerintahkan untuk memenggal leher Abu Nawas. Tapi, ditengahi oleh penasihatnya dengan mengatakan, “Sastrawan itu hanya berlebihan-lebihan dalam kata, tapi tidak dalam hal yang sebenarnya.”
Ada juga sebab lain yang sudah menjurus ke penghinaan ras. Akhirnya, Abu Nawas dipenjara.
Banyak orang yang tidak tahu, kalau karena dipenjara inilah Abu Nawas akhirnya berubah. Ia menjadi lebih dekat dengan agama. Dekat dengan Allah subhanahu wata’ala. Hingga, tertulislah sebuah karya syair beliau yang terkenal tentang curhatan dirinya saat taubat.
Syair itu berjudul Al-i’tiraf, artinya sebuah pengakuan. Sebuah pengakuan tentang dirinya yang begitu banyak dosa. Sebuah pengakuan tentang dirinya yang pasrah di hadapan Allah. Sebuah pengakuan tentang dirinya yang ingin kembali dekat dengan Allah subhanahu wata’ala.
Hingga kini, syair taubat Abu Nawas itu masih terasa ‘segar’ dilantunkan. Bahkan menjadi inspirasi taubat bagi mereka yang ingin kembali ke jalan Allah yang lurus.
Ada kabar kalau Abu Nawas wafat. Ia wafat di usia 58 tahun di Bagdad. Saat itu, Imam Syafi’i dikabarkan tidak mau menshalatkannya.
Namun ketika seseorang menemukan tulisan syair Al-I’tiraf itu dari balik kantong Abu Nawas itu, hampir semua orang berubah. Termasuk Imam Syafi’i.
Bahkan dikabarkan, Imam Syafi’i menangis begitu membaca syair indah taubat Abu Nawas itu. Beliau pun akhirnya menshalati Abu Nawas.
**
Allah subhanahu wata’ala memberikan hidayah kepada siapa pun yang Ia kehendaki, begitu pun menyesatkan siapa yang Ia kehendaki.
Itulah rahasia Allah. Karena itu, bersyukurlah dengan hidayah Allah yang dilimpahkan untuk kita.
Dan, selalulah berbaik sangka bahwa jika Allah berkehendak, siapa pun yang buruk akan bisa berubah baik dengan izin Allah. Terlebih untuk orang-orang yang punya hubungan dekat dengan kita. [Mh]





