PADA awal tahun 70-an, ada seorang bocah spesial yang tinggal di kampung Thahuriyah, Mesir. Selain terbiasa menghafalkan Al-Qur’an, bocah ini begitu tekun shalat di masjid. Nama bocah itu Muhammad Sayid Husnain Jibril.
Di semua waktu shalat, Muhammad Jibril kecil nyaris tak pernah luput mendatangi masjid. Dengan busana gamis putih, ia selalu melewati tempat yang sama sesaat sebelum azan berkumandang.
Sedemikian rutinnya hal itu dilakukan, warga di sepanjang jalan yang dilalui sang bocah menjadikannya pertanda waktu shalat. Jika bocah bergamis putih lewat, itu tandanya tak lama lagi azan akan berkumandang.
Ketika menginjak usia remaja, Muhammad Jibril sudah dikenal sebagai pakar Al-Qur’an. Padahal, saat itu ia belum tamat sekolah setingkat SMA.
Kagum dengan kecerdasannya di bidang Al-Qur’an, pemeintah Yordania bahkan memintanya menjadi guru Al-Qur’an di sebuah universitas. Ia pun menerima dan akhirnya menetap di sana.
Namun, Muhammad Jibril tak berpuas diri. Selepas lulus setingkat SMA, ia kuliah di Universitas Al-Azhar. Ia pun mondar-mandiri Yordania Mesir untuk mengajar dan belajar Al-Qur’an.
Saat itu, sejumlah pihak sudah merekam tilawah Muhammad Jibril kemudian menyebarkannya. Suaranya begitu syahdu dan memiliki daya tarik luar biasa.
Akhirnya, pemerintah Mesir pun meminta Muhammad Jibril untuk menjadi imam tetap di sebuah masjid bersejarah di Mesir. Nama masjidnya Masjid Amru bin Ash. Bersejarah karena didirikan oleh 80 sahabat Nabi di zamannya. Ia pun menyanggupi.
Di saat yang hampir bersamaan, Muhammad Jibril berhasil menjuarai lomba menghafal Al-Qur’an tingkat dunia selama dua kali: di Malaysia dan di Arab Saudi.
Dari hadiah sebagai juara itu, ia pun bisa membeli rumah dan tanah di sekitar Masjid Amru bin Ash. Sebagian lahan itu ia dirikan sebuah sekolah Al-Qur’an yang ia beri nama Madrasah Ubai bin Ka’ab.
Benar saja, daya tarik dari Muhammad Jibril begitu luar biasa. Masjid Amru bin Ash tiba-tiba ramai oleh jamaah shalat. Mereka datang dari berbagai kota di Mesir, bahkan dari luar negeri. Mereka datang hanya untuk menyimak bacaannya saat shalat.
Di setiap bulan Ramadan, tarawih di Masjid Amru bin Ash begitu ramai. Diperkirakan jumlah jamaah yang hadir mencapai 500 ribu orang. Mereka meluber ke halaman parkir masjid, bahkan ke jalan-jalan raya.
Saat itu, para jamaah berebut untuk bisa berada di shaf-shaf terdepan. Untuk bisa berada di shaf paling depan pada shalat tarawih, bahkan ada yang sudah tiba pada jam 2 siang.
Di akhir shalat tarawih, Muhammad Jibril biasa membaca doa qunut nazilah. Doanya begitu panjang. Bahkan untuk bacaan qunutnya saja bisa sampai satu jam.
Hal yang dirasakan para jamaah selain tilawah yang merdu dan syahdu dari imam, mereka seperti terbang berada di dunia lain. Mereka kerap menangis saat tilawah dilantunkan.
Kini, Syaikh Muhammad Jibril tidak lagi sekadar guru di universitas di Yordania. Tidak juga sekadar imam masjid di sebuah masjid bersejarah. Melainkan sudah menjadi salah seorang guru besar di universitas terkenal di dunia Islam, yaitu Al-Azhar.
**
Al-Qur’an memiliki mukjizat luar biasa. Orang yang ahli Al-Qur’an, melalui tilawahnya dalam shalat, seperti menghidupkan hati yang mati, menyehatkan hati yang sudah sekarat.
Jangan pernah bosan belajar Al-Qur’an. Meskipun usia tak lagi muda. Meskipun terasa sulit melafazkan dan menghafalkannya. Karena suatu saat, Al-Qur’an memberi syafaat untuk mereka yang disebut ahli atau pencintanya. [Mh]