NIKMAT Allah terus mengalir di setiap detik hidup kita. Sedemikian banyaknya, kadang menjadi tak terasa.
Hidup ini nikmat. Tak ada satu detik pun waktu berlalu tanpa nikmat untuk setiap manusia. Nikmat yang terlihat, dan yang tak terlihat. Ada nikmat yang di luar tubuh, ada yang dari dalam diri kita sendiri. Semua seperti otomatis.
Kadang yang terlihat saja, nikmat datang tanpa terasa. Apalagi yang tak terlihat. Ada nikmat oksigen yang tak perlu bayar. Ada nikmat air yang datang berlimpah bersama hujan. Ada lagi nikmat sinar matahari yang tiada penggantinya.
Ada nikmat panca indra yang begitu mahal. Sebuah riwayat menyebutkan ketika Allah menguji seorang hamba soleh yang akan masuk surga.
Allah bertanya, “Kenapa kalian pantas masuk surga?” Hamba soleh itu menjawab, “Karena saya beramal soleh selama puluhan tahun.”
Karena jawaban itu, Allah memerintahkan malaikat untuk melemparkannya ke neraka. Setelah cukup, hamba yang soleh itu pun dijelaskan bahwa hamba Allah masuk surga karena rahmat-Nya.
Amal ibadah selama puluhan tahun itu jika dibandingkan dengan nikmat penglihatan, masih lebih berat timbangan nikmat penglihatan. Apalagi dengan nilai nikmat panca indra.
Kita tak pernah merasakan bagaimana nikma Allah tetap mengalir meski kita tidur. Meski kita tidur, jantung tetap berdetak normal. Darah mengalir stabil. Seluruh organ tubuh seperti lambung, lever, ginjal, dan lainnya; tetap bekerja normal.
Belum lagi dengan alam jiwa. Di sana ada ruh, ada hati dan akal, dan ada cahaya hidayah yang anugerahkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
Di dunia hati ada bahagia. Ada cinta dan rindu. Ada takut dan khawatir. Ada sedih dan marah. Dan masih banyak lainnya.
Semua itu terus mengalir seperti otomatis. Begitu akurat. Begitu presisi. Begitu tertakar. Begitu sesuai dengan yang dibutuhkan tubuh manusia.
Belum lagi dengan nikmat stabilitas alam raya yang harmonis. Bintang gemintang begitu indah dipandang. Para ahli menyatakan, satu sentimeter saja orbit planet bergeser, maka benda-benda langit akan saling bertabrakan.
Lalu, sebagian orang ada yang mengeluh dengan susahnya hidup. Dia seperti mempertanyakan Allah yang Maha Kaya, Maha Adil, Maha Kasih dan Sayang. Keadaan susah yang ia rasakan seolah dijadikan dalih bahwa nikmat Allah begitu sedikit untuknya.
Itulah kebodohan kita. Itulah bagaimana kerdilnya kita. Persis seperti anak kecil yang menganggap ayah ibunya pelit hanya lantaran tak diberikan sebutir permen.
Berulang-ulang Allah mengungkapkan firman-Nya, “Fabi-ayyi aalaa-i robbikumaa tukadzibaan.” Maka dengan nikmat yang mana lagi dari Tuhanmu yang kamu dustakan?
Maafkan kepicikan kami, Ya Allah. Jadikanlah kami menjadi hamba-hamba-Mu yang senantiasa bersyukur. [Mh]