NASIHAT itu harus tulus, tidak dalam keadaan marah, dan tidak mengharap pujian.
Imam Abu Hanifah, rahimahullah, tergolong ulama yang kaya raya. Ayahnya seorang pengusaha yang sangat mendukung perjuangan dakwah Islam.
Suatu kali, beliau dalam sebuah perjalanan. Ulama yang bernama asli Nu’man bin Tsabit ini mendengar seorang lelaki mengeluh dari balik jendela yang terbuka. Rupanya orang itu sedang mengeluhkan keadaannya yang miskin.
“Ya Allah, betapa malangnya nasib hamba ini. Dari pagi, belum ada seteguk air dan sesuap makanan pun yang melalui tenggorokan ini….,” suara dari balik jendela itu terdengar.
Imam Abu Hanifah langsung kembali ke rumah. Ia balik lagi dengan membawa sebuah bungkusan. Bungkusan itu ia letakkan di pintu rumah itu. Dan beliau pun berlalu.
Ketika si lelaki yang mengeluh ini kedepan, ia mendapati sebuah bungkusan tergantung di pintunya. Ia buka bungkusan itu. Di dalamnya ada uang sekadar untuk makan hari itu dan sepucuk surat.
Surat itu sebuah nasihat. Isinya antara lain, saudaraku jangan seperti itu mengeluh kepada Allah subhanahu wata’ala. Berdoalah kepada Allah dengan baik dan berikhtiarlah. Semoga Allah memberikan jalan keluar.
Di lain hari, Imam Abu Hanifah melewati lagi jalan itu. Ia mendapati jendela rumah lagi-lagi terbuka. Dan dari balik jendela itu, lagi-lagi, ia mendengar keluhan yang tak jauh berbeda dengan sebelumnya.
“Ya Allah, Engkau sudah mengirimkanku uang sekadarnya. Berikanlah aku lebih banyak lagi…,” seperti kira-kira isi keluhannya.
Imam Abu Hanifah kembali lagi ke rumah. Ia lagi-lagi kembali dengan membawa bungkusan. Bungkusan itu ia letakkan di pintu rumah orang yang mengeluh itu, persis seperti kejadian sebelumnya. Beliau pun berlalu meninggalkan rumah itu.
Orang yang mengeluh itu kedepan rumah. Ia kembali mendapati sebuah bungkusan di pintu rumahnya. Ketika dibuka, bungkusan itu berisi uang sekadar untuk hari itu dan sepucuk surat. Persis seperti kemarin.
Kali ini, suratnya lebih panjang. Imam Abu Hanifah menasihati orang itu untuk memohon kepada Allah dengan baik, berikhtiar dengan baik, bersungguh-sungguh mencari nafkah, dan mendoakan agar ia diberikan kemudahan.
Saat itulah, orang itu menyadari kekeliruannya. Selain berdoa, ia harus berikhtiar dan bekerja dengan sungguh-sungguh.
**
Sebuah pelajaran berharga dari Imam Abu Hanifah tentang cara bijak menasihati orang. Pendiri mazhab Hanafi ini, setelah memberikan solusi kongkrit berupa uang sekadarnya, ia menasihati dengan rahasia.
Seorang ulama lain, Al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah, menambahkan, “Jika ulama salaf memberikan nasihat kepada seseorang, mereka menasihatinya dengan rahasia.
“Nasihatilah seseorang dengan duduk berdua saja. Jika dilakukan di depan orang banyak, maka ia sedang mempermalukan orang itu.” [Mh]