RAMADAN memang sudah pergi. Jejaknya masih terasa di hati. Dan kini, terasa ada yang hilang.
Allah subhanahu wata’ala mencukupkan Ramadan hanya satu bulan. Yang namanya bahan bakar tentu tidak mengisi seluruh mesin. Tapi bisa menggerakkan mesin untuk bekerja lama.
Dan kini, Ramadan telah pergi selamanya. Awalnya ada gembira ketika malam hari raya tiba. Tapi terasa seperti ada yang hilang seiring kepergiannya.
Ibaratnya, seperti bayi yang asyik menikmati pelukan ibu dan asinya. Setelah tiba masanya, mau tidak mau, bayi harus melepas ‘kehangatan’ itu. Ia harus memulai hidup baru apa adanya.
Cuma bedanya dengan lepasnya ikatan Ramadan, bayi menangis sejadinya, sementara kita bahagia sejadinya pula.
Kini, tak ada kewajiban berpuasa. Silakan makan dan minum sepuasnya, siang atau malam. Kadang, penganan lama yang tak tersentuh di Ramadan, ‘melambai-lambai’ untuk kembali dilampiaskan.
Tidak heran jika kesehatan yang sudah diraih hampir sempurna di masa Ramadan, kini mulai goyah. Bahkan ada yang sudah opname.
Kita merasakan hikmah luar biasa. Bahwa, lapar karena sebuah kesadaran, bukan karena tak mampu bayar, akan menyehatkan jasmani dan ruhani. Kepedulian pun bangkit, menyadari bahwa banyak yang lapar karena memang tak mampu bayar.
Kedua, kita seperti kehilangan alarm Ramadan. Alarm bukan untuk bangun dari tidur. Tapi bangun dari kesadaran tentang buruknya dosa. Semudah apa pun, dan sedekat apa pun dosa itu.
Mata kita terjaga. Tangan dan kaki pun terjaga. Lisan pun terjaga. Terlebih lagi hati yang bisa bolak-balik kapan saja, antara dosa dan pahala.
Dan kini, semua yang terjaga itu seperti bebas apa maunya. Seperti, setan-setan yang tak lagi terkurung dalam penjara super kuat. Kini, mereka bebas berkolaborasi dengan nafsu-nafsu yang tak lagi terjaga.
Ketiga, ada yang sunyi di saat malam tiba. Tak lagi terdengar panggilan untuk qiyamur Ramadan berjamaah di masjid. Tarawih tak lagi ada. Malam yang pernah riuh dengan lantunan takbir tak zikir, kini sunyi. Sesunyi hati yang tak tersentuh sapaan cahaya Ilahi.
Ramadan benar-benar telah pergi. Jejaknya memang masih hangat terasa. Tapi, bekasnya mulai luntur di hati dan amal.
Adakah harapan bisa berjumpa lagi dengan Ramadan di masa datang. Semoga Allah mengabulkan apa yang kita inginkan. [Mh]