MATA hati itu seperti jendela. Jendela untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah subhanahu wata’ala.
Dua orang menikmati pemandangan pegunungan. Satu orang mengatakan, “Wow, bagusnya pemandangan ini, sungguh indahnya!”
Yang satunya mengatakan, “Masya Allah. Betapa indahnya ciptaan Allah!”
Keduanya menatap objek yang sama. Tapi, satu melihat dengan mata biasa, dan satunya lagi dengan mata hati.
Abu Jahal dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu sama-sama melihat dan berinteraksi dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tapi Abu Jahal hanya dengan mata biasa, sementara Abu Bakar dengan mata hati.
Mata biasa Abu Jahal hanya menginformasikan bahwa sosok Rasulullah adalah seorang pemuda biasa. Tapi mata hati Abu Bakar menangkap pemandangan lain, bahwa Rasulullah adalah manusia istimewa utusan Pencipta Alam Raya.
Dua tetangga tinggal saling bersebelahan dengan masjid. Satunya melihat masjid hanya sebagai bangunan tempat orang beribadah. Satunya lagi mendapati masjid sebagai tempat berlabuhnya hati dan pemuas kerinduan pada Ilahi.
Dua orang melihat anak yatim yang berdiri di tepian jalan sebagai pengamen. Satu orang melihat sosok itu hanya sebagai anak pengamen jalanan. Satunya lagi melihat teguran betapa abainya dia sehingga ada anak yatim yang terlantar begitu saja.
Mata biasa hanya menangkap objek sebagai sebuah benda. Tapi mata hati akan menghubungkan objek yang dilihat dengan ma’rifah atau pengenalan kepada Allah.
“…Karena sesungguhnya, bukanlah mata (yang di kepalanya) yang buta. Tapi yang buta (mata) hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)
Sama-sama memiliki mata untuk melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Tapi ada yang tak mampu melihat tanda-tanda itu.
“Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, tapi mereka berpaling darinya.” (QS. Yusuf: 105)
Karena itu, perbanyaklah zikrullah dengan sepenuh hati. Hal ini agar Allah subhanahu wata’ala menganugerahkan kita ketajaman mata hati. [Mh]