PERBEDAAN tak mesti berujung permusuhan. Kepala boleh panas, tapi hati harus tetap dingin.
Di tahun 50-an, ada tiga partai besar yang kerap bersaing di pentas politik Indonesia. Ketiganya adalah PNI, PKI, dan Masyumi. Masyumi merupakan partai Islam yang mewakili sekian banyak organisasi Islam.
Dari ketiga partai itu, ‘pertarungan’ sengit secara ideologis kerap dilakukan PKI dan Masyumi. Baik dilakukan di ruang rapat, maupun di arena kampanye terbuka.
Misalnya, PKI pernah berkampanye, “Kalau Masyumi menang, lapangan banteng akan diubah menjadi lapangan onta!”
Masyumi juga membalas, “Kalau PKI menang, lapangan banteng akan diubah menjadi lapangan merah di Moskow!”
Begitu pun di ruang-ruang tertutup dan rapat-rapat parlemen. Tokoh PKI dan Masyumi kerap berdebat begitu panas. Misalnya, antara DN Aidit dari PKI dan Mohammad Natsir dari Masyumi.
Keduanya, kerap saling ejek dan menjatuhkan argumentasi. Bahkan, Pak Natsir pernah sangat emosi dengan DN Aidit. “Akan saya lemparkan kursi ini!” begitu kira-kira ucapannya. Namun, hingga rapat berakhir dan dilanjutkan dengan rapat-rapat berikutnya, tak satu pun kursi yang dilemparkan Pak Natsir.
Menariknya, pemandangan di luar sidang ternyata berbeda seratus delapan puluh derajat. DN Aidit dan Pak Natsir kerap ngopi bareng di warung kopi dekat gedung parlemen. Keduanya tidak lagi sedang membicarakan ideologi dan partai, melainkan tentang keluarga mereka masing-masing.
Tidak jarang, DN Aidit kerap memboncengi Pak Natsir dengan sepeda hingga ke Pejambon di mana rumah Pak Natsir berada.
**
Berbeda pendapat tak berarti bermusuhan. Perbedaan pendapat adalah ruang argumentasi, sementara permusuhan adalah hal lain yang tak perlu dikaitkan.
Silakan berbeda karena hal itu sebuah keniscayaan. Silakan berargumentasi karena dengan begitu sikap menjadi sebuah orisinalitas dan bukan karena jiplakan.
Pikiran boleh saja panas karena saling uji argumentasi. Tapi hati tetap dingin untuk selalu terbuka membangun persaudaraan. [Mh]